Langsung ke konten utama

RENUNGAN

Apa lacur, budaya pop dalam kesenian sudah seperti dinosaurus, besar, kuat, menjijikan, mendominasi, siap menerkam dan pasti PUNAH dalam waktu dekat.

Seniman sekarang ibarat pabrik, cerobong asapnya mengepul-ngepul menyebarkan racun ke stratosfer. Namun, tampaknya para penikmat seni juga senang dengan karya yang beracun. Karya yang mereka santap saat senggang, bahan obrolan saat hang out di mall dengan teman, karya yang jadi tameng agar selalu eksis dalam pergaulan.

Kalau Anda mau bermusik, mainkanlah musik pop dengan irama melayu, tak perlu indah yang penting liriknya norak, setelah itu buat skandal yang tak ada hubungannya dengan musik, pasti Anda akan terkenal dengan cepat.

Kalau anda mau jadi penulis, tiru habis karya Habiburahman atau Asma Nadya, budayakan ta'aruf dan anti pacaran sebelum nikah. Pesan moralnya baik, tapi menjadi membosankan karena ribuan kali diulang dalam ribuan novel dan teenlit. Tak apa-apa, pembaca suka yang seperti itu, banyak pembaca yang kurang percaya diri sampai harus membaca beratus-ratus novel dan cerpen dengan tema yang sama sekedar untuk meyakinkan diri mereka.

Biarlah keadaannya seperti itu, bukankah zaman sekarang seniman adalah pelengkap penderita? Seniman bukan lagi pemberi inspirasi atau pelempar ide tentang hakikat. Biarkan kita berJENUH-JENUH dulu dengan karya yang membuat JENUH sampai semuanya JENUH.

Padahal keseragaman adalah racun dalam berkesenian.

Komentar

Syaiha mengatakan…
Dalem tulisannya, Mas..
Diksi dan ide pokoknya juga keren..

#OneDayOnePost
isni wardaton mengatakan…
Berapi-api nih iwa penulisny, dilanjutkan g, Mas. #odop

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yan...

THE ANAK UDIK'S CONFESSION

Kadang ada beberapa titik dalam hidup saya ketika saya benar-benar lumpuh, tak bisa menulis lagi. Inspirasi saya mentok, saya kehabisan kata-kata. Kadang saya sebegitu herannya setiap ‘main’ ke toko buku dan menemukan puluhan buku baru dipajang di rak. Kok bisa ya penulis-penulis itu menghasilkan buku hampir tiap bulan, tangan mereka lincah seperti mesin pabrik berproduksi setiap harinya menghasilkan karya? Apa yang salah dengan saya? Jujur saja saya kurang gaul, saya cuma orang udik yang tersasar di megahnya semesta sastra, bergaya-gaya seperti penulis jempolan, padahal setiap saya membaca salah satu karya yang dipajang di rak toko buku tersebut hati saya seketika ‘mengkeret’ menahan malu sekaligus takjub dengan karya yang barusan saya baca. Lalu timbullah rasa tidak percaya diri yang berlebihan kadarnya, saya mundur perlahan, masuk ke tempat gelap dan mengungsi dari dunia sastra karena takut dengan bayangan saya sendiri. Ironis. Keadaan seperti itu bisa melum...