Langsung ke konten utama

APA KAMU TAHU?

APA KAMU TAHU?

   Apa kamu tahu, terkadang untuk menjadi sempurna itu berarti kamu juga harus belajar untuk mempercayai orang-orang di sekitarmu?

   Setidaknya, satu orang saja. Orang yang selalu ada di sampingmu, orang yang ada namun seperti bayang-bayang, hanya mengikuti ke mana saja kakimu melangkah tapi tak pernah protes dengan semua yang kamu lakukan. Orang yang kadang kamu anggap tidak pernah ada, walaupun sebenarnya kamu tahu kalau dia eksis.

   Kamu juga harus menceritakan semua duka kamu, luka kamu, ceritakan saja. Aku selalu siap untuk mendengar, walau kadang jawabanku hanya berupa gumaman-gumaman tak jelas. Minimal dengan bercerita, dukamu akan sedikit berkurang walau tidak menghilangkan sepenuhnya.

   Tubuh kamu itu bukan cuma sangkar tempat memelihara rupa-rupa perasaankan? Dia juga cangkang untuk sebuah jiwa. Jiwa itu tidak akan pernah lengkap tanpa jiwa lainnya yang jauh-jauh hari sudah dipasangkan sebelum tubuh kamu itu berwujud. Itulah kenapa Tuhan menciptakan Hawa dari rusuk Adam. Supaya jiwa itu lengkap, menjadi sepasang, dan tidak kesepian.

   Tapi apa kamu juga tahu kalau setiap malam dalam tidurmu aku selalu mencoba menggapai-gapai apa yang sedang bergemuruh dalam dadamu? Aku mendengar rintihan di sana. Kadang aku juga mendengar teriakan-teriakan amarah, kadang ada suara isakan, tapi aku juga sering mendengar gumaman atau sebuah tawa yang lepas.
  
   Aku sering mengkhayal tentang kisah kita beberapa tahun yang lalu, kita seperti Dewi Ratih dan Pangeran Indra, kita selalu berisisan, selalu bersama, tapi kita tak pernah rapat, kita selalu menyisakan sedikit ruang agar jiwa kita bisa bernafas bebas tanpa takut cangkang yang melindunginya retas. Kita selalu berdiri sejajar, tapi tak pernah dekat. Kamu selalu berkelakar kalau kedekatan absolut itu adalah awal dari kehancuran sebuah hubungan, kamu mengibaratkan kita seperti dua pohon jati, apabila kita berdiri terlalu dekat, maka salah satunya mati karena tidak bisa mendapat cahaya matahari. Aku setuju dengan idemu itu.

   Tapi apa kamu tahu kalau aku itu selalu rindu kamu dekap, kamu belai dengan lembut? Aku rela mati seperti pohon jati itu hanya demi sebuah dekapan lembut dan merasakan deru nafasmu yang lembut di tengkukku saat kamu memelukku dari belakang. Sunggguh, aku rela mati demi sebuah dekapan saja.

   Kadang aku berpikir apakah aku masih cukup waras karena mempercayai jiwamu bisa terbelah? kamu lebih mencintai wastafel, kran dan cermin. Aku kamu duakan, tidak malah aku kamu empatkan sekaligus dengan dengan benda-benda wajib penghuni kamar mandi itu.

   Setiap pagi setelah kamu bangun tidur  kamu selalu menyempatkan berlama-lama dengan mereka, begitupun setelah pulang dari kantor dan saat sebelum tidur. Kalian begitu erat bercumbu seolah duniamu ada di sana. Seolah-olah kalian bercengkrama, bercerita, berkeluh kesah seperti sahabat lama yang tidak ketemu setelah sepuluh tahun. Ya, kalian selalu reuni akbar di kamar mandi sampai lupa waktu. Sampai melupakan bahwa ada mahkluk dari dunia nyata yang serba tiga dimensi ini: aku.

   Saat aku tegur kamu juga hanya tersenyum seolah-olah reuni akbarmu itu bukanlah sebuah dosa, bukan sebuah kesalahan yang harus ditebus dengan maaf. Seolah-olah melupakanku adalah sebuah hal biasa yang tak menciderai perasaanku.

   Kadang mau aku pecahkan saja cermin itu lalu aku robohkan wastafel keparat yang sudah mencuri kamu dari aku, tapi aku tak sanggup, kebahagiaanmu itu juga berarti kebahagiaanku, walau aku harus menebusnya dengan kehilangan dirimu secara personal. Kebahagiaanmu itu ada di sana, di antara wastafel mengkilap, kran stainless dan cermin itu.

   Suatu malam setelah kamu selesai berreuni akbar dengan kekasih-kekasih barumu itu aku beranikan diri bertanya. Diluar dugaan ternyata jawaban kamu sangat sederhana: karena kamu bisa ketemu aku di sana.

   Otakku tak sanggup mencerna, antara perasaan tersanjung dan jijik setengah mati karena merasa dipermainkan. Aku bertanya lagi bukankan kamu selalu bertemu aku setiap hari, bukankah setiap pagi aku selalu menunggumu di meja makan menantikan sarapan bersama yang sia-sia karena kamu terlalu sibuk di kamar mandi, aku terlalu sabar menunggu sampai rotinya dingin. Malamnya pun sama, aku menunggumu di tempat tidur sambil membaca-baca novel yang entah sudah berapa kali khattam, pikiranku tidak fokus pada novel, pikiranku sibuk bertanya-tanya apa yang kamu lakukan dengan kekasih-kekasih barumu itu di kamar mandi.

   Apa kamu mati rasa? Apa kamu tidak bisa merasakan emosi yang aku pancarkan dari artikulasi suara dan tatapan mataku? Kamu hanya tersenyum dan membimbingku berjalan ke kamar mandi. Kamu ajak aku berdiri di depan cermin wastafel. Dengan gerakan lembut kamu matikan lampu, suasana kamar mandi sekarang jadi temaram, bayangan wajahmu dan wajahku terpantul samar di cermin, tapi garis wajah kita menjadi terlihat lebih tegas, kamu terlihat lebih cantik dan eksotis, ingin kurengkuh wajahmu sejadi-jadinya saat ini.

   Dengan gerakan telaten kamu putar kran itu dan suara berdecit keluar disusul suara aliran air yang mengalir. Apa ini pikirku? Suasana kamar mandi berubah jadi sebegitu indah, magis dan mencengangkan. Aku tak pernah menyangka kalau potongan surga pernah jatuh dari Eden dan masuk ke dalam kamar mandi kita, dan kamu selama ini merahasiakan semuanya dariku. Kamu mengambil air dari wastafel dan memasukkan ke dalam mulutmu untuk berkumur, aku hanya memperhatikan semuanya. Kamu begitu menikmatinya, kadang kamu memejamkan matamu seolah-olah menikmati semuanyanya, diantara kembang kempisnya pipimu saat berkumur kamu menemukan kebahagiaan yang lain.

   Kamu sorongkan gelas yang airnya tinggal setengah itu, dengan perasaan enggan aku juga memasukkan airnya ke dalam mulutku, mencoba berkumur. Sesekali memejamkan mata, berusaha merasakan apa yang kamu rasakan. Luar biasa, rupanya ini yang selama ini kamu rahasiakan dari aku.

   Dalam dunia yang luar biasa kompleks ini ternyata ada hal-hal sederhana yang bisa membuat kita menjadi begitu larut dan bahagia, dengan berkumur dalam kamar mandi yang temaram ini contohnya.

   Saat kita berkumur dan memandang bayangan diri kita dalam cermin kita seperti tersedot ke dalam sebuah dimensi yang baru, sebuah dimensi hening yang hanya kita sendiri sebagai penghuninya. Tak ada suara apa-apa. Hanya ada suara deburan ombak dari dalam mulut kita dan sensasi berkelana yang hadir dalam kepala. Kita bisa menghadirkan siapapun dalam dimensi hening ini, dan memilih aku menghadirkan kamu. Biarlah kita sering-sering bertemu dengan lebih intens dengan cara seperti ini.

   Terbersit sesuatu dalam kepalaku: mungkin kita harus membeli seperangkat wastafel, kran dan cermin baru. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s