Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2016

KATA MEREKA

Mereka bilang saya gila, sering bicara sendiri, berkhayal terlalu tinggi, sering bertingkah aneh-aneh, kebanyakan gaya. Tapi saya sih tidak peduli-peduli amat sama omongan mereka, toh kalau saya suka bicara sendiri memangnya kenapa? Dari pada saya dibilang normal tapi suka bicara ramai-ramai ngobrol di kafe, warung kopi atau pengkolan. Ngomong ngalor-ngidul sampai mulut berbusa-busa, padahal apa yang diomongkan berjam-jam itu tidak ada juntrungannya. Terus kalau saya suka mengkhayal tinggi-tinggi memangnya salah? Lagian saya juga tidak pernah meminjam kepala mereka buat saya mengkhayal, saya modal, pakai kepala saya sendiri. Terus kenapa mereka mencak-mencak kalau saya berkhayal suatu saat manusia bakalan tinggal di Mars? Kalau saya bertingkah aneh atau suka bergaya-gaya apa mereka rugi? nggak juga kan? Kecuali kalau saya bertingkah sambil membakar rumah mereka atau ayam mereka yang suka berak sembarangan di halaman rumah saya, saya lindas pakai motor saya yang jalannya seperti keong

PENGANTIN

Rasanya setiap gesekan baju di kulit saja terasa seperti sayatan silet. Perih… perih sekali. Tapi aku tetap berusaha ternyum walaupun getir. Setiap apa yang kita lakukan di masa lalu, baik atau buruk, waktu pasti akan mengingat dan mencatatnya dengan baik. Tak ada celah untuk pura-pura tidak tahu atau menyalahkan orang lain. Polisi karma ada di mana-mana. “Berdoa Ray,” bisik Nurani lembut. Rambutnya yang ikal panjang berkibar-kibar terkena tiupan kipas angin yang disetel maksimal. Ruangan ini selalu terasa gerah bagiku. “Berdoa pada siapa?” jawabku sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna pucat. “Pada Tuhanmu.” “Tuhan yang mana? Aku sudah menjadi atheis sejak sepuluh tahun lalu.” Bibir Nurani mengerucut. Ada rasa kecewa teramat dalam saat dia mendengar kata-kataku barusan. “Mana Ray yang dulu aku kenal? Ray yang taat. Ray yang setiap saat mulutnya selalu basah karena membisikan firman Tuhan.” Nurani mengingatkan. Ada harapan yang bisa aku tangkap dari tatapannya. “Itu dul

MEMANCING, BADAI, TAKDIR DAN SIANIDA

Mungkin seperti ini gambaran kiamat yang sering dikhotbahkan para ustadz di mesjid-mesjid atau para pendeta di gereja dekat rumah yang saban minggu selalu ramai didatangi jemaatnya. Aku celentang di atas batuan datar, mencoba berlindung di balik batuan cakar ayam yang difungsikan untuk menahan gelombang. Aku ketakutan setengah mati tapi mata tidak mau terpejam, kukuh menatap langit, takut kehilangan momen kolosal saat petir berhamburan meramaikan langit. Langit yang gelap selama beberapa detik menjadi begitu benderang dengan lidah petir yang berkilauan. Lautan koclak, ombaknya berdeburan menghantam tepian, wajahku berpuluh kali tersiram biasannya dan berkali-kali pula kerongkonganku perih menelan air asin laut. Lima meter dari tempatku terlentang, sahabatku dengan gagah berdiri tegap, bajunya yang basah rapat mendekap tubuhnya. Siluetnya nampak seperti ksatria yang siap bertempur di medan perang, dengan joran teracung tinggi dilatari kabut dan jilatan halilintar. Aku tak heran, dari d

RUKOYAH INGIN PULANG

Tubuh Rukoyah mengejang hebat, dia terlempar dari mimpi indah barusan. Tubuhnya menggigil, seluruh persendiannya terasa ngilu. Perutnya berkerucuk. Lapar, dia belum makan apa-apa sejak tadi malam, tapi rasa ngilu di tubuhnya tidak seberapa dibandingkan rasa perih di selangkangannya. Belum lagi rasa sakit hatinya kepada Anwar, sang mucikari yang selama ini selalu mengambil sebagian keuntungan dari kerja kerasnya. Setelah dokter memvonis rukoyah terkena penyakit kelamin dengan semena-mena Anwar memutuskan hubungan kerjanya secara sepihak. Dengan tenaga yang tersisa di tubuhnya Rukoyah berusaha bangkit dari tempat tidur, berjalan setengah terseret ke arah pintu, menggapai jaket dan bergegas keluar. Matahari pagi tidak menggeliat pagi ini, cahanyanya kalah dihalau awan mendung. Gerimis sisa hujan semalam mengguyur seisi kota. Tubuh Rukoyah semakin mengigil, butir gerimis terasa seperti hujaman jarum pada wajahnya. Hampir setengah jam Rukoyah berjuang menyeret kakinya untuk sampai ke depa

DIA

Sudah beberapa hari ini aku selalu merasa ada sesuatu atau seseorang yang terus-menerus mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku tak bisa memastikan yang mengikutiku itu adalah seorang manusia, hewan, hantu atau mungkin hanya sebentuk rasa paranoid yang tiba-tiba hadir dari pikiran bawah sadar. Seperti barusan saja terjadi, setelah aku menuntaskan tugasku dengan melesakkan sebutir timah panas ke pilipis korban yang yang sudah kuincar selama empat hari ini, aku merasa ‘dia’ ada di dekatku, menyaksikan semua yang kulaukan. Begitu juga saat dengan santainya belatiku memotong-motong tubuh korban agar tidak bisa dikenali, aku merasa ‘dia’ masih memelototiku dengan tatapannya yang dingin. Tubuh yang sudah terpotong-potong itu kumasukkan ke dalam beberapa karung terpisah. Seperti biasa, aku arus memisah-misahkan bagian tubuh korbanku agar polisi tak bisa mengenali. Teknik yang paling kusukai adalah mencor tubuh korban dalam peti, dan semen yang sudah mengering itu kubawa ke tengah laut dan kulun

THE ANAK UDIK'S CONFESSION

Kadang ada beberapa titik dalam hidup saya ketika saya benar-benar lumpuh, tak bisa menulis lagi. Inspirasi saya mentok, saya kehabisan kata-kata. Kadang saya sebegitu herannya setiap ‘main’ ke toko buku dan menemukan puluhan buku baru dipajang di rak. Kok bisa ya penulis-penulis itu menghasilkan buku hampir tiap bulan, tangan mereka lincah seperti mesin pabrik berproduksi setiap harinya menghasilkan karya? Apa yang salah dengan saya? Jujur saja saya kurang gaul, saya cuma orang udik yang tersasar di megahnya semesta sastra, bergaya-gaya seperti penulis jempolan, padahal setiap saya membaca salah satu karya yang dipajang di rak toko buku tersebut hati saya seketika ‘mengkeret’ menahan malu sekaligus takjub dengan karya yang barusan saya baca. Lalu timbullah rasa tidak percaya diri yang berlebihan kadarnya, saya mundur perlahan, masuk ke tempat gelap dan mengungsi dari dunia sastra karena takut dengan bayangan saya sendiri. Ironis. Keadaan seperti itu bisa melumpuhkan saya sampai berb