Kita berdua pernah tersesat di negeri asing ini, sebuah negeri tanpa bendera, sebuah negeri yang mereka beri nama cinta.
Mau bagaimana lagi, matahari keburu gugur. Gelap cepat merambat, padahal peta yang kita genggam belum sempat terbaca. Dalam gelap hanya ada debur ombak dan detak jantungmu yang berkejaran dengan deru nafasku.
Kita ketakutan, wajah kita pucat. Kau tengadah, menahan sesuatu dari pelupuk matamu yang hampir tumpah.
1... 2... gumaman dari bibirmu merapal sesuatu, tapi bukan doa. Kamu masih tengadah. Aku ikuti tatapanmu lalu ekor matakupun terlempar dalam kemahaluasan andromeda.
Tak ada lagi ketakutan. Tak ada lagi kegelapan. Wajah kita ditatap bermiliar bintang. Terang benderang. Tubuh kita tersesat di sini, tapi jiwa kita melayang-layang menembus Bimasakti, mampir sebentar ke Alpha Centauri lalu jiwa kita baur dalam eloknya debu semesta.
Kita ulangi permainan itu terus menerus, sampai leher kita pegal, sampai kokok ayam pertama berbunyi. Saat fajar nyalang merah di pipmu lalu kau menoleh padaku sambil berkata: coba teliti lagi, apa kita masih manusia?
(catatan kecil di atas genting rumah tetangga)
Komentar