Langsung ke konten utama

SURAT

Usianya kutaksir sekitar tiga belas tahun, tapi intelegensi dan daya pikirnya tidak melebihi anak yang berumur enam tahun. Anak ini bernama Elzar, tubuhnya tinggi gempal, kulitnya sedikit hitam, yang menarik dari anak ini adalah matanya selalu berbinar-binar ceria dan bibirnya selalu tersenyum. Dia sedikit imbisil, salah besar mendaftarkan dia di sekolah ini. Ini sekolah Kejar Paket A, tempat anak-anak yang memiliki masalah di sekolah formal dan berencana mengejar ketertinggalannya. Tapi apa daya Elzar, seorang anak imbisil dari keluarga yang kurang mampu. Ibunya seorang pedagang nasi uduk di pasar dan ayahnya seorang pengangguran yang temperamental dan kadang-kadang tidak segan 'main tangan' pada Elzar dan ibunya. Bagi Elzar mendapatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa seperti impian di awang-awang, biayanya pasti tak terjangkau.

Dan apes-sekaligus beruntung-nya aku berkesempatan walau hanya sekitar dua bulan untuk mengajar kelas Kejar Paket A ini. Jumlah muridnya hanya tujuh orang, tapi yang hadir setiap pertemuannya tidak lebih dari empat orang. Kelasnya diadakan waktu malam karena pagi dan siang ruang kelasnya dipakai untuk sekolah Madrasah.

Minggu pertama mengajar adalah perjuangan berat. Mengajari mereka membaca saja susahnya seperti mengajarkan teori cellular automata pada anak SMP. Untunglah memasuki akhir bulan pertama keadaan mulai membaik, sedikit demi sedikit mulai ada perkembangan, beberapa anak mulai lancar membaca walau kadang masih terbata-bata.

Masalah berikutnya muncul saat mulai mengajari mereka menulis kata, otot tangan dan otak mereka kadang tidak sinkron, di kepala mereka mengeja kata 'kayu' tapi otot tangan mereka bergerak lincah menulis kata 'kayu' menjadi 'sagu'. Tapi toh, dengan sedikit kesabaran pelan-pelan mereka terbiasa dan mulai bisa menuliskan kata-kata sederhana.

Aku ingat waktu itu hujan deras, tak ada satupun anak yang hadir di kelas, padahal waktu belajar sudah lewat sepuluh menit, lalu tiba-tiba anak ini datang. Elzar. Hujan-hujanan tanpa payung, semua pakaian, tas dan bukunya basah. Aku persilakan duduk. Dia menggigil. Di sekitar tangannya aku melihat tanda kebiruan. Aku bertanya itu tanda apa dan dengan polosnya dia bercerita kalau selepas maghrib ayahnya tiba-tiba marah tanpa sebab, Elzar dan ibunya jadi pelampiasan amarahnya, tanda kebiruan di tangannya adalah buktinya. Lalu tanpa berpikir panjang dia mengambil tas dan berlari dalam hujan untuk datang ke kelas, karena di kelas inilah dia merasa diperlakukan seperti anak-anak seharusnya. Dia menceritakan semuanya tanpa ada emosi dan beban apa-apa dan matanya tetap saja berbinar-binar cerah walau aku yakin tanda kebiruan di tangannya masih terasa ngilu.

Beberapa hari setelah kejadian malam itu aku tak pernah melihat Elzar di kelas lagi. Lalu kabar itu datang, katanya dia dan ibunya pindah ke Pandeglang, berusaha menghindar dari ayahnya yang semakin hari semakin sering marah-marah. Dua bulan masa mengajarku selesai sudah.

Kejadian itu sudah lewat dua tahun sampai sekitar tiga bulan lalu ketua yayasan tempat aku mengajar dulu memberitahukan bahwa ada surat untukku. Aku baca alamat pengirim. Dari Elzar. Lekas-lekas aku buka isi amplop itu. Sebuah surat dengan tulisan acak-acakan tapi masih bisa aku baca.

"Pak Guru apa kabar? Semoga sehat. Bapak jangan banyak begadang, nanti sakit. Banyak makan biar gemuk. Elzar sekarang belajar di pesantren. Elzar senang, di sini temannya baik-baik. Elzar mau pintar supaya kalau besar bisa jadi seperti Bapak."

Itu saja isi suratnya, ringkas tanpa basa-basi. Tiba-tiba aku terkenang kejadian beberapa tahun lalu. Aku terharu, dadaku serasa mau meledak. Dia masih ingat aku. Ternyata masih ada cinta tersisa di balik tulisan cakar ayamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

SAYA DAN INSPIRASI

Belakangan ini sulit sekali rasanya menghasilkan tulisan, menciptakan karya. Berjilid-jilid buku habis dibaca, berpuluh film tandas ditonton, tujuannya mencari inspirasi. Tapi apa mau dikata, otak saya tetap buntu, jari-jari saya masih saja lumpuh, imajinasi saya impoten, pun tidak satu kata yang berhasil ditulis, dan kalaupun ada yang berhasil tertulis tetap saja tanpa rasa. Hampa, tulisan tanpa makna. Kata orang saya kurang awas, tidak peka, terlalu sibuk pada hal yang besar-besar sehingga hal-hal kecil luput dari pengawasan. Saya terlalu tenggelam dengan dunia saya sendiri, asyik mencari definisi sampai alfa untuk menggenggam hikmah dari semua peristiwa. Jadilah saya penulis yang pandir, imbisil, penulis yang menulis di awang-awang. Kata seorang sahabat sudah saatnya saya berhenti bersembunyi, selalu menyenangkan bersembunyi dari orang banyak, bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa ketahuan, tapi sampai kapan? Saking lamanya saya bersembunyi dari dunia sampai saya tidak sadar ...