Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

BIG BANG 2 PART 7

TITIK 4 1 Fenna bangun dengan keadaan tubuh banjir keringat. Dia masih menangis, rasa rindu dan takut pada apa yang baru saja dimimpikannya membuat tangisannya tak mudah berhenti begitu saja. Dia menyibak sedikit pintu tenda yang terbuat dari kanvas kaku berwarna biru gelap. Matahari sudah merah. Jam berapa sekarang? Batinnya. Dia mengaduk-aduk tas bawaannya dan mengeluarkan handphone. Jam setengah enam sore! Lama sekali dia tertidur. Dia masih ingat pesan yang diberikan kakeknya dalam mimpi. Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Kata-kata itu terus terngiang dalam kepalanya. Cepat-cepat dia bangun, mengaduk-aduk isi tasnya lagi dan mengambil senter. Saat pertama datang ke pulau ini dia tahu jika ada sebuah reruntuhan bekas bangunan di belakang pulau, jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar sepuluh menit berjalan kaki, tapi tempatnya sedikit memisah dan jarang dilalui wisatawan atau para pemanc

BIG BANG 2 PART 6

Pembina yang tadi marah-marah pada temannya juga datang ke tenda medis, mengecek nadinya dan menanyakan sakit yang dia rasakan. Kali ini beda, dia merasakan kedamaian tiba-tiba. Bukan lagi amukan amarah yang meledak-ledak. Kamu tidak apa-apa? tanyanya dengan wajah sedikit pias mengkhawatirkan salah satu anak yang harus dijaganya selama  kegiatan study tour berlangsung. Fenna diam saja. Dia masih sibuk memikirkan apa yang dialaminya barusan. "Kamu sudah sarapan?" tanya kakak pembinanya lagi. Fenna mengangguk. Sekali lagi kakak pembina mengecek nadi Fenna. Setelah yakin semuanya normal dia meninggalkan tenda sambil berpesan agar Fenna tidak usah mengikuti sisa kegiatan yag akan dilakukan mengingat kadaannya yang kurang sehat. Mungkin karena pengaruh obat atau karena mentalnya masih syok dengan kejadian yang dialaminya barusan, tiba-tiba Fenna merasa mengantuk. Dalam tidurnya dia bermimpi bertemu kakeknya yang sudah lama meninggal. Kakek Fenna adalah salah seorang  Suku Daya

BIG BANG 2 PART 5

Semakin umurnya bertambah, sensitifitas tubuhnya semakin menjadi-jadi. Dia teringat peristiwa beberapa tahun lalu saat sekolahnya mengadakan kegiatan study tour di pulau Onrust. Salah satu pulau bersejarah di sekitar kepulauan seribu. Pada awal perjalanan semua terasa menyenangkan dan baik-baik saja. Banyak fenomena ganjil yang dia lihat di sepanjang tepian dan hutan di pulau itu, tapi bagi dia semua masih terasa normal. Saat malam hari pun semua normal, mereka menyalakan api unggun dan berkumpul sambil bernyanyi bersama. Tapi pagi itu semua terasa lain. Dari dalam tenda Fenna mendengar salah seorang pembinanya membentak-bentak dan berteriak. Dengan perasaan heran dia keluar dan berjalan menuju arah suara. Di sana Fenna melihat Anna dan Fadil sedang dimarahi karena mereka kepergok sedang bermesraan. Tapi bukan itu masalah utamanya, Fenna merasakan ada gelombang amarah yang sangat besar dari kakak pembina. Ada yang salah, itu yang pertama kali Fenna rasakan. Omelan yang diberikan

BIG BANG 2 PART 4

BAB 3 FENNA Gadis itu masih berdiri di balkon rumahnya sambil memandangi garis-garis hujan. Hatinya gusar. Sejak seminggu yang lalu dia terus memimpikan hal yang sama. Dia tahu jika saat yang diramalkan akan segera datang. Akankah manusia bertahan? Bumi yang berumur hampir lima miliar tahun ini sudah berkembang sedemikian sempurna untuk melindungi dirinya dalam sebuah sistem tetap yang tak bisa dirubah. Bumi bisa mereset dirinya ke keadaan awal jika merasa terlalu banyak kekacauan yang mengotori siklus. Manusia yang tidak sadar ada dalam bahaya besar. Kesadaran tentang pemanasan global yang sekarang digembar-gemborkan di seluruh dunia sudah terlambat. Manusia malas membaca yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Padahal semuanya terpampang dengan jelas  di sekeliling mereka. Puluhan bahkan ratusan kali manusia-manusia yang diberikan pencerahan hadir ke dunia, memberikan peringatan dan mengajarkan agar manusia kembali menjadi manusia, kembali ke semestinya manusia yang merupa

BIG BANG 2 PART 3

TITIK 2 LARA Kamu harus segera pulang ke Indonesia sekarang! bentak Oma Hilda pada seseorang di telepon. "Ada apa Oma?" "Tidakkah kamu membaca berita? Semua yang sudah diramalkan akan terjadi tidak lama lagi. Kamu harus pulang secepatnya." "Bagaimana dengan Lara? Apakah dia sudah siap?" "Siap atau tidak, Lara harus siap. Waktunya sudah semakin dekat, tak ada lagi waktu untuk mempersiapkan diri. Semua rahasia ini harus segera diungkap dan kita harus bersatu untuk mempersiapkan diri menghadapi peristiwa yang akan terjadi." "Baik Oma, saya akan mempersiapkan kepulangan saya ke Indonesia segera." Klik. Oma Hilda menutup telepon. Dia masih belum bisa yakin seratus persen jika ramalan itu akan terjadi dalam waktu dekat. Apakah orang-orang yang sudah dipilih akan siap? "Telepon dari siapa, Oma?" Tiba-tiba Lara datang dari arah dapur. "Bukan siapa-siapa Lara." "Tampaknya Oma serius sekali berbicara di telepon

BIG BANG 2 PART 2

Jakarta di pertengahan Juli seharusnya sedang memasuki puncak musim panas tapi sudah hampir seminggu ini selalu turun hujan. Musim sepertinya sedang mengalami anomali yang luar biasa. Tidak hanya Jakarta, tapi semua kota di dunia mengalami fenomena aneh yang sama. Sebagian gurun sahara sudah mulai menghijau, rerumputan liar tumbuh berhektar-hektar, oasis baru bermunculan. Tidak hanya di Sahara, tapi juga semua gurun lain yang ada di dunia, gurun Kalahari dan Gobi tidak luput dari fenomena yang membingungkan ini. Gurun jadi subur dan menghijau. Suhu di Arktik dan Antartika tiba-tiba drop, pencairan es di kedua kutub tersebut berhenti. Perkiraan ilmuwan selama beberapa dasawarsa terakhir salah besar, tidak terbukti. Kutub kembali perkasa dengan gunung-gunung es nya yang menjulang megah. Bumi seperti ter-reset dengan sempurna. Jutaan manusia merayakan perubahan ini, bumi kembali menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Tapi sebagian yang merasa awas malah cemas. Ada sesuatu yang besar

BIG BANG 2 PART 1

TITIK 1 NIKKI Nikki ada di sebuah padang pasir yang luar biasa luas. Sejauh mata memandang hanya bukit pasir yang tampak, di balik bukit pasir itu masih ada puluhan bukit pasir lainnya yang menjulang berlekuk-lekuk menyerupai gelombang berwarna kecoklatan. Gersang. Matahari bersinar menantang. Bulat sempurna tanpa ada sedikitpun awan yang menghalanginya. Di mana aku berada? batinnya. Pemandangan seperti ini baru pertama kali dia lihat seumur hidup. Dia berjalan terseok-seok mendaki dan menuruni bukit pasir terus menerus, tak ada petunjuk jalan, tak ada patokan, dia merasa berjalan berputar-putar di tempat yang sama. Setelah sekian lama berjalan dan kakinya mulai merasa lelah, dia duduk. Rasa takut mulai datang kalau-kalau dia tidak akan pernah menemukan jalan pulang. Pada titik itulah dia mulai mencoba-coba mengingat bagaimana dia bisa sampai terdampar di gurun pasir yang seolah tak berbatas ini. Buram, tak ada sepotong memoripun yang bisa dia ingat. Dia sepertinya mengalami amnesia

BIG BANG 2: ANTARA KERAGUAN DAN HARAPAN

Setelah rilis novel e-book pertama saya yang berjudul "BIG BANG: SEMUA BERAWAL DARI LEDAKAN" sekitar akhir agustus 2015 lalu, banyak tanggapan positif dari para pembaca yang menanyakan apakah akan ada sekuel dari novel BIG BANG saya ini. Sebetulnya pada bagian "CURHAT PENULIS: SAYANG ANAK... SAYANG ANAK..." sempat saya jelaskan kalau proses lahirnya BIG BANG ini karena proses ketidak sengajaan penulis yang cuma ikut-ikutan tren dan gaya-gayaan semata. Tak pernah sedikitpun terlintas di benak penulis jika novel BIG BANG bisa tersebar cukup luas dan cepat (dari data yang penulis himpun sudah sekitar 2300 copy yang tersebar dari Aceh sampai Makasar), tentu saja ini merupakan apresiasi yang sangat besar yang penulis rasakan. Beberapa e-mail yang sampai kepada penulis menanyakan tentang akankah ada serial lanjutan dari "BIG BANG: SEMUA BERAWAL DARI LEDAKAN"? Penulis bisa memastikan: ADA . Pertanyaannya adalah, kapan akan dirilis? Penulis sendiri masih bingun

EDWIN

Jakarta awal Januari. Hujan rintik-rintik sudah turun sejak sore tadi. Waktu bergulir lambat, hawa malas meruap dari tiap sudut cafe ini. Kulirik jam tangan, pukul delapan lewat dua puluh menit. Berarti kamu sudah terlambat lima puluh menit dari waktu yang sudah kamu janjikan tadi siang. Herannya aku masih saja rela menunggu, padahal dalam cuaca seperti ini betapa nyamannya berada di rumah, menonton televisi sambil minum teh manis hangat. Jarum ja di pergelangan tanganku terus bergerak dengan tempo yang lambat. Malam ini seolah waktu begitu lengket, sulit sekali menjadi cair dan mengalir seperti hari-hari biasa, mungkin efek hujan sejak sore tadi. Hampir saja aku bangun saat aku melirik jarum jam di pergelangan tanganku sudah hampir menunjuk pukul setengah sembilan. "Hei...!" Tiba-tiba sapaan dari suara yang hampir aku lupa itu muncul dari arah belakang. Aku menengok, dan senyummu yang selama hampir dua belas tahun ini aku rindu hadir, tidak berubah sedikitpun, tetap mempes

SAYA DAN INSPIRASI

Belakangan ini sulit sekali rasanya menghasilkan tulisan, menciptakan karya. Berjilid-jilid buku habis dibaca, berpuluh film tandas ditonton, tujuannya mencari inspirasi. Tapi apa mau dikata, otak saya tetap buntu, jari-jari saya masih saja lumpuh, imajinasi saya impoten, pun tidak satu kata yang berhasil ditulis, dan kalaupun ada yang berhasil tertulis tetap saja tanpa rasa. Hampa, tulisan tanpa makna. Kata orang saya kurang awas, tidak peka, terlalu sibuk pada hal yang besar-besar sehingga hal-hal kecil luput dari pengawasan. Saya terlalu tenggelam dengan dunia saya sendiri, asyik mencari definisi sampai alfa untuk menggenggam hikmah dari semua peristiwa. Jadilah saya penulis yang pandir, imbisil, penulis yang menulis di awang-awang. Kata seorang sahabat sudah saatnya saya berhenti bersembunyi, selalu menyenangkan bersembunyi dari orang banyak, bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa ketahuan, tapi sampai kapan? Saking lamanya saya bersembunyi dari dunia sampai saya tidak sadar

TERDAMPAR

Di sinilah kita terdampar, di semesta asing entah berantah. Sayang kita datang saat gelap, saat masa-masa rawan, saat matahari dimakamkan tanpa nisan. Tak ada cahaya, peta yang aku bawa tak bisa terbaca. Duduk kita di gundukan tanah tertinggi karena khawatir kalau-kalau air pasang dan kita tenggelam. Negeri ini kosong melompong, hanya ada air, tanah, udara, aku dan kamu. Negeri asing tanpa bendera yang hanya kita berdua saja penghuninya. Tapi herannya aku tak pernah merasa kesepian dengan keduaan ini. Kamu itu utuh, paket lengkap tanpa cela, kamu itu siang yang terang sekaligus malam yang hening, kamu adalah geraman guntur yang menggelegar sekaligus nyanyian merdu pengantar tidur. Kamu adalah kamu, ketunggalan lengkap yang tak pernah mampu aku ungkap. Padahal jauh-jauh hari sebelum kita terdampar di tanah asing ini aku pernah bilang jangan pernah angkat jangkar, apalagi mencoba menaikkan layar, tapi kamu selalu bisa meyakinkanku kalau menarik sauh adalah jalan terbaik. Lalu berlayarl

PHARAS PULANG

Tiba-tiba saja dia datang, berdiri di depan pintuku di malam yang berhujan. Crash.... Crash.... Crash.... Duar....! Langit bergemuruh, petir berkilatan, kaca jendela bergetar hebat. Semesta terbahak-bahak. Pharas pulang. Siapa sangka setelah bertahun-tahun pencarian tanpa hasil, tiba-tiba saja malam ini sosok yang paling aku rindukan hadir. Pharas pulang. Langsing tubuhnya yang dilatarbelakangi cahaya petir membiaskan siulet hitam di lantai granit, aku termangu. Antara bahagia dan ragu, mencoba mereka-reka yang kini aku hadapi adalah kenyataan atau hanya sebentuk fantasi. Matamu sembab, bibirmu biru, tubuhmu menggigil hebat. Ada cerita besar di balik hadirmu di pintuku malam ini. Tapi apa? Aku tak pernah berani bertanya, hanya membimbingmu duduk di sofa dan menghidangkan teh manis hangat pengusir dingin di tubuh kuyupmu. Hampir satu jam kita duduk berhadapan. Dalam diam. Dalam ledakan langit yang semakin menjadi-jadi yang seolah menertawakan dan mempetanyakan kenapa seumur hidup aku

KITA: SEPASANG MANUSIA SIAL YANG DI KUTUK

Hari ini kita ada janji, kita akan bertemu di Trafalgar Square jam setengah dua siang. Lunch sekalian temu kangen setelah hampir dua tahun tidak ketemu. Dengan setelan jas warna abu-abu dipadu dengan celana curdorai hitam, aku begitu percaya diri melenggang keluar dari pintu apartemen. Aku, Nikki. Salah satu dari sekian banyak orang Jakarta yang berharap bisa menyesap manisnya hidup di Eropa yang kata orang adalah benua paling beradab dan paling berpotensi merubah nasib di dunia. Jam tangan keperakan di pergelangan tangan kananku sudah menunjuk angka satu lewat empat puluh lima, tapi kamu belum juga hadir. Aku gelisah, khawatir kamu lupa atau berhalangan datang. Trafalgar Square selalu ramai saat jam makan siang seperti ini. Aku sibuk celingukan sambil berusaha mengingat-ingat bentuk wajahmu, lalu tepukan di pundakku membubarkan gambaran dirimu yang hampir terbentuk sempurna. "Hei... Sudah lama menunggu ya?" Kini di hadapanku sudah berdiri seorang gadis Amerika cantik. D

PRETTT

Bukankah menjunjung tinggi kebebasan juga sama saja dengan menanggung sebuah beban? Tidak pernah ada kebebasan yang benar-benar absolut. Kita semua senantiasa terikat. Kalau ada pepatah yang mengatakan ‘hal terbaik di dunia adalah kebebasan’ mungkin di belakangnya juga harus ditambahkan kata ‘do with your own risk!’ . Kita berdua pernah merasakannya, kamu dan aku. Kita puja kebebasan itu seperti tuhan, laksana berhala. Semua yang orang sebut sebagai aturan dan tatanan kita acuhkan. Kita mempersetankan segala yang orang sebut sebagai norma. Memang waktu itu kita masih teramat muda, kita masih terlalu hijau di dunia yang serba teratur ini. Sampai kita terdampar di paris pada bulan Nopember. Dinginnya hembusan angin jahat musim dingin eropa menusuk tulang kita sampai ke sum-sumnya. Wajah kita pucat. Perut kita hanya terisi potongan croissant sisa sarapan tadi pagi. Lambung kita perih karena terlalu banyak menampung whiskey , kita terjebak di sebuah hostel murah yang baunya sudah seperti

EARTH TO BELLA

" Ngapain sih kamu ngasih duit ke anak tadi?" Itu kata-kata yang kamu ucapkan di perempatan jalan dua tahun yang lalu. Waktu itu sore-sore, hujan gerimis. Aku yang tak mau ambil pusing santai saja sambil membesarkan volume handphone -ku. Walaupun pacar ngomel rock must go on. Tapi aku tak pernah menyangka persoalan yang semula aku anggap remeh ternyata berbuntut panjang. Di depan pagar rumah kamu ngomel sejadi-jadinya. Tadinya aku pikir kamu marah karena aku tidak peduli dengan omelanmu dan malah membesarkan volume handphone-ku. Persoalan tambah rumit saat kamu mulai menyebut-nyebut anak jalanan itu cuma korban, mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka dipaksa bekerja mengamen, meminta-minta dan pekerjaan lainnya. Aku sabar saja sambil mendengarkan. Lalu aku ingat betul kata-kata itu. Kamu bilang dengan aku memberikan recehan kepada mereka berarti aku juga ikut menyengsarakan nasib mereka, karena dengan aku memberi recehan berarti aku ik