Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

SIAPA KAMU

Satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan orang dan sekaligus paling malas saya jawab : Siapa kamu ? Seolah dari ratusan ribu kosa kata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa dirangkum hanya dalam dua kata dan satu tanda tanya di ujungnya. Siapa kamu ? Begitu luar biasa bencinya saya sampai-sampai mengabdikan seperempat jatah hidup saya sampai saat ini hanya untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan. Siapa kamu ? Dua kata ditambah satu tanda tanya di ujungnya tapi   bisa melesakkan mahkluk paling jenius sekalipun ke dalam ranah imbisil yang parah. Pertanyaan yang menyeluruh, mempertanyakan sekaligus menghakimi secara tragis eksistensi seorang manusia. Pertanyaan mematikan yang jika salah memilih jawaban akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Pertanyaan yang melahirkan bifurkasi lalu menciptakan bifurkasi lainnya yang bercabang banyak dan bertumpuk-tumpuk. Siapa kamu ? Sampai pada titik tertentu di tahun terakhir saya menyerah. Jika ada

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario takdir tidak pernah bisa kita baca, kita hanya memerankan semuanya atas dasar bisikan gaibnya.             K

DISLOKASI

Seorang teman pernah bercerita kalau beberapa tahun terakhir dia banyak menghabiskan waktu berkeliling Indonesia. Mengunjungi tempat-tempat eksotis. Mendaki gunung, mandi matahari, menyelam, bermain ombak, sampai masuk ke pedalaman dan bertemu suku-suku terasing. Saya berdecak kagum, begitu banyak yang sudah dia lihat pasti begitu kaya batinnya dengan beragam pengalaman selama perjalanan. Di luar perkiraan, pengakuan mengejutkan meluncur dari bibirnya, ternyata dia tidak merasa bahagia, perjalanannya kosong melompong. Tubuhnya pergi berkeliling ke seluruh negeri, tapi hatinya tetap tertambat dalam kamarnya yang sempit dan sesak. Jejak kakinya ada di mana-mana tapi ruhnya terperosok dalam sumur gelap, mengiba-iba meridu cahaya. Pada titik ini saya mulai berpikir, mencerna baik-baik semua yang dia ceritakan. Mentok, buntu, saya tidak bisa mencari korelasi atas kejadian yang menimpa dirinya. Bukankah dengan semakin banyak kita mengunjungi tempat baru, bertemu orang-orang baru justru bat

PULANG

Mereka bilang kamu itu terlalu asyik dengan duniamu sendiri. Anti sosial. Mati rasa. Kebas. Kamu terlahir cacat, kurang sempurna. Indra peka dalam tubuhmu  kurang berkerja dengan baik. Apalagi kalau kamu sudah berhadapan dengan buku. Semesta di sekitarmu seketika lenyap, terhisap mampat dalam bingkai kacamata berlensa minus tiga koma tujuh lima. Kadang aku bertanya-tanya, apa enaknya sih duduk berlama-lama sambil memangku buku? Apa punggugmu  tidak pegal? Diam-diam aku iri dengan melimpah ruahnya rasa apatis dalam dirimu. Saat kamu tenggelam dalam bacaan, seolah-olah semua indra di tubuhmu ter-shut down otomatis. Hanya matamu yang aktif berbinar-binar melompat dan merayapi setiap huruf, kata dan kalimat. Tidak ada gemericik hujan, cericit burung atau dengus nafas yang mampu mengusik konsentrasimu. Dunia runtuh dan memadat menjadi tumpukan abjad yang tercetak dalam buku yang kamu genggam. Itulah duniamu. Sebuah dunia serba monokrom yang bagiku begitu menjemukan. Kadang aku merasa cur