Langsung ke konten utama

TEMBOK

Aku pernah berkempatan untuk menginap di rumah temanku selama beberapa malam atas permintaannya karena orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Rumahnya di sekitaran daerah Kober. Wilayahnya masih banyak tanah kosong dan jarak rumahnya sedikit berjauhan.

Malam pertama menginap aku terbangun saat tengah malam karena merasa haus. Karena letak kulkas ada di ruang tamu terpaksa aku harus berjalan ke sana. Kuambil air dingin dan langsung meneguknya dari mulut botol. Segar.  Dari celah hordeng aku melihat bulan purnama bersinar terang sekali. Karena merasa tidak mengantuk aku putuskan berjalan-jalan ke luar sebentar sambil menghisap sebatang rokok.

Udaranya segar sekali. Di ujung jalan ada sebuah pertigaan, di sepanjang tepi jalan ada tembok setinggi sekitar dua meter membentang panjang dari depan jalan raya sampai ke dalam perkampungan. Aku penasaran ingin menemukan ujung tembok tersebut. Aku susuri pelan-pelan sambil menikmati udara malam.

Di dekat pohon petai cina aku mendengar suara wanita menyanyi dari balik tembok. Suaranya merdu tapi sendu. Aku berhenti untuk mendengarkan. Suasananya benar-benar syahdu, aku tengadah, di atas kepalaku ada purnama dan tunas-tunas pohon petai cina yang berjuntaian. Langitnya bersih. Suara nyanyian terdengar jelas. Aku terhipnotis selama beberapa saat. Tiba-tiba lagu itu berhenti. Aku menunggu tapi wanita itu tidak pernah meneruskan lagunya, aku merasa kehilangan.

Keesokan malamnya kejadian itu terulang lagi. Aku bangun tengah malam, menyusuri tembok di tepi jalan, di deket pohon petai cina aku terhipnotis lagi oleh bulan, nyanyian dan tunas petai cina yang berjuntaian. Saat nyanyian itu berhenti aku kehilangan.

Di malam ke empat kuputuskan untuk menyusur sampai ke ujung tembok dan mencari tahu siapa wanita yang setiap malam bernyanyi itu. Dari pertigaan terus kususuri sejauh tiga ratus meter, tapi ujung tembok masih juga belum terlihat. Di pertigaan jalan ke dua ada seorang ibu-ibu tua penjual serabi, aku mampir sebentar ingin membeli camilan sambil bertanya tentang daerah di balik tembok.

"Mbok, serabinya empat ya!"
"Dimakan di sini atau dibungkus, Nduk?"
"Di bungkus saja, Mbok."
"Iya."
"Ngomong-ngomong di balik tembok ini desa apa ya?"
"Di balik tembok ndak ada desa, lha wong di situ pekuburan semua."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...