Peluh sebesar jagung mulai merembes dari pori-pori kulitku, nafasku senen-kemis, mata mulai berkunang-kunang, sendi dengkul rasanya mau lepas, telapak kakiku panas. Untunglah di tikungan depan kamu berhenti, kamu menengok ke belakang dan menemukan aku yang terseok-seok berlari hampir pingsan.
Kamu tersenyum, kamu injeksikan semangat lewat suara "Ayo!" katamu. Percuma tidak berpengaruh banyak, tiga puluh detik kemudian aku sampai di hadapanmu dengan muka merah, sambil terbungkuk-bungkuk batuk.
Sungguh di hadapanmu aku merasa menjadi kurang lelaki, bukan karena tinggimu yang hampir seratus tujuh senti, bukan pula karena rahang kukuh yang tampak macho itu. Tapi aku selalu merasa seperti seorang wanita yang terlahir dengan tubuh laki-laki, tapi wanita itu lesbi, jadi aku tetap suka kamu, karena kamu jelas-jelas wanita. Wanita tinggi dengan rahang kukuh yang kini tertawa-tawa sambil memapahku yang swmpoyongan berjalan menuju bangku taman.
"Kamu kurang makan," katamu sambil mengeluarkan sepotong sandwich lalu menyerahkannya kepadaku. Dengan nafas masih ngos-ngosan dan mata berkunang-kunang sandwich yang hangat itupun tertelan.
"Tunggu di sini, aku mau lari lagi satu putaran." Lalu dengan langlah-langkah panjang kamu hengkang, kulit putihmu semburat jadi tembaga kena pantulan matahari pagi. Aku hanya bisa menyaksikan semua adegan, dan berusaha merekam dalam kepala dengan gerakan slow motion, semoga saja sandwich yang barusan aku makan bisa menunda laparku untuk sepekan. Sampai aku ngos-ngosan lagi di hadapanmu, dan kamu menyorongkan sandwich hangat sambil terbahak-bahak menatap wajahku yang remuk redam.... semoga saja, nanti pekan depan.
Komentar