Langsung ke konten utama

SANDWICH

Peluh sebesar jagung mulai merembes dari pori-pori kulitku, nafasku senen-kemis, mata mulai berkunang-kunang, sendi dengkul rasanya mau lepas, telapak kakiku panas. Untunglah di tikungan depan kamu berhenti, kamu menengok ke belakang dan menemukan aku yang terseok-seok berlari hampir pingsan.

Kamu tersenyum, kamu injeksikan semangat lewat suara "Ayo!" katamu. Percuma tidak berpengaruh banyak, tiga puluh detik kemudian aku sampai di hadapanmu dengan muka merah, sambil terbungkuk-bungkuk batuk.

Sungguh di hadapanmu aku merasa menjadi kurang lelaki, bukan karena tinggimu yang hampir seratus tujuh senti, bukan pula karena rahang kukuh yang tampak macho itu. Tapi aku selalu merasa seperti seorang wanita yang terlahir dengan tubuh laki-laki, tapi wanita itu lesbi, jadi aku tetap suka kamu, karena kamu jelas-jelas wanita. Wanita tinggi dengan rahang kukuh yang kini tertawa-tawa sambil memapahku yang swmpoyongan berjalan menuju bangku taman.

"Kamu kurang makan," katamu sambil mengeluarkan sepotong sandwich lalu menyerahkannya kepadaku. Dengan nafas masih ngos-ngosan dan mata berkunang-kunang sandwich yang hangat itupun tertelan.

"Tunggu di sini, aku mau lari lagi satu putaran." Lalu dengan langlah-langkah panjang kamu hengkang, kulit putihmu semburat jadi tembaga kena pantulan matahari pagi. Aku hanya bisa menyaksikan semua adegan, dan berusaha merekam dalam kepala dengan gerakan slow motion, semoga saja sandwich yang barusan aku makan bisa menunda laparku untuk sepekan. Sampai aku ngos-ngosan lagi di hadapanmu, dan kamu menyorongkan sandwich hangat sambil terbahak-bahak menatap wajahku yang remuk redam.... semoga saja, nanti pekan depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s