Dan akhirnya di sinilah kita, bergenggaman tangan tapi terpisah sejauh mata memandang. Terjebak dalam tingkap kaca seluas hampir satu hektar, dan tingginya sebatas langit tercakar. Dalam gedung luas ini aku merasa pengap karena suara yang keluar dari bibirmu selalu sunyi. Hening suaramu meracuni udara, menebar malaria, bikin telingaku terinfeksi sepi.
Dalam tingkap kaca yang terang benderang ini mataku terasa alfa, netraku buta dalam sorotan jutaan watt lampu menyala. Dalam gelap yang terang benderang ini aku tarik lehermu mendekat lalu aku berbisik "Tolong bimbing aku, tunjukkan beda antara bibirmu dan biji mataku."
Lantai demi lantai kita lalui, di setiap koridor kita bertemu wajah yang sama. Di kanan ada bioskop, di kiri ada restoran dan di hadapan kita membentang jalan lurus tanpa akhir. Aku gemetaran, takut dan merasa asing dalam semesta granit maha luas ini.
Aku eratkan peganganku ke telapak tanganmu, tapi semakit erat tanganmu tergenggam semakin kosong dan hampa yang aku rasakan. Aku takut tersesat dan hilang dalam bangunan asing yang terang benderang ini, tapi aku jauh lebih takut lagi kehilangan kamu yang justru jaraknya tak lebih dari sepelemparan.
Lekas-lekaslah kita berjalan, jangan menengok ke kiri dan ke kanan karena di ujung koridor aku yakin ada sebuh pintu putar, gerbang pemisah antara semesta palsu berpendar dengan dunia ramah yang aku kenal. Lekaslah kita masuk ke dalamnya.
Dalam pelintiran pintu putar ini jantungku melonjak-lonjak, bahagia, takutku hilang, di balik kaca tipis itu ada dunia yang aku kenal. Wajahmu yang kelelahan dan berkeringat bisa dengan jelas aku tatap, mataku tidak lagi buta dan nafasku tidak lagi pengap walau pintu putar ini sempitnya bukan main.
Beberapa derajat lagi pintu ini memuntir dan dunia itu bisa kita genggam, dunia yang aku dan kamu kenal. Biarlah kita keluar dan jangan pernah masuk dalam semesta luas yang pengap itu. Aku tarik tanganmu kuat-kuat. Ayo kita keluar!!
Komentar