Langsung ke konten utama

MALL

Dan akhirnya di sinilah kita, bergenggaman tangan tapi terpisah sejauh mata memandang. Terjebak dalam tingkap kaca seluas hampir satu hektar, dan tingginya sebatas langit tercakar. Dalam gedung luas ini aku merasa pengap karena suara yang keluar dari bibirmu selalu sunyi. Hening suaramu meracuni udara, menebar malaria, bikin telingaku terinfeksi sepi.

Dalam tingkap kaca yang terang benderang ini mataku terasa alfa, netraku buta dalam sorotan jutaan watt lampu menyala. Dalam gelap yang terang benderang ini aku tarik lehermu mendekat lalu aku berbisik "Tolong bimbing aku, tunjukkan beda antara bibirmu dan biji mataku."

Lantai demi lantai kita lalui, di setiap koridor kita bertemu wajah yang sama. Di kanan ada bioskop, di kiri ada restoran dan di hadapan kita membentang jalan lurus tanpa akhir. Aku gemetaran, takut dan merasa asing dalam semesta granit maha luas ini.

Aku eratkan peganganku ke telapak tanganmu, tapi semakit erat tanganmu tergenggam semakin kosong dan hampa yang aku rasakan. Aku takut tersesat dan hilang dalam bangunan asing yang terang benderang ini, tapi aku jauh lebih takut lagi kehilangan kamu yang justru jaraknya tak lebih dari sepelemparan.

Lekas-lekaslah kita berjalan, jangan menengok ke kiri dan ke kanan karena di ujung koridor aku yakin ada sebuh pintu putar, gerbang pemisah antara semesta palsu berpendar dengan dunia ramah yang aku kenal. Lekaslah kita masuk ke dalamnya.

Dalam pelintiran pintu putar ini jantungku melonjak-lonjak, bahagia, takutku hilang, di balik kaca tipis itu ada dunia yang aku kenal. Wajahmu yang kelelahan dan berkeringat bisa dengan jelas aku tatap, mataku tidak lagi buta dan nafasku tidak lagi pengap walau pintu putar ini sempitnya bukan main.

Beberapa derajat lagi pintu ini memuntir dan dunia itu bisa kita genggam, dunia yang aku dan kamu kenal. Biarlah kita keluar dan jangan pernah masuk dalam semesta luas yang pengap itu. Aku tarik tanganmu kuat-kuat. Ayo kita keluar!!

Komentar

Syaiha mengatakan…
Di dunia luar memang lebih mengasikkan dibandingkan di dalam Mall... Hehehe

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

SAYA DAN INSPIRASI

Belakangan ini sulit sekali rasanya menghasilkan tulisan, menciptakan karya. Berjilid-jilid buku habis dibaca, berpuluh film tandas ditonton, tujuannya mencari inspirasi. Tapi apa mau dikata, otak saya tetap buntu, jari-jari saya masih saja lumpuh, imajinasi saya impoten, pun tidak satu kata yang berhasil ditulis, dan kalaupun ada yang berhasil tertulis tetap saja tanpa rasa. Hampa, tulisan tanpa makna. Kata orang saya kurang awas, tidak peka, terlalu sibuk pada hal yang besar-besar sehingga hal-hal kecil luput dari pengawasan. Saya terlalu tenggelam dengan dunia saya sendiri, asyik mencari definisi sampai alfa untuk menggenggam hikmah dari semua peristiwa. Jadilah saya penulis yang pandir, imbisil, penulis yang menulis di awang-awang. Kata seorang sahabat sudah saatnya saya berhenti bersembunyi, selalu menyenangkan bersembunyi dari orang banyak, bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa ketahuan, tapi sampai kapan? Saking lamanya saya bersembunyi dari dunia sampai saya tidak sadar ...