Langsung ke konten utama

ANJING

ANJING

   Barusan aku mengungkapkan cinta pada seorang gadis yang sudah beberapa bulan ini aku kenal. Ternyata mengungkapkan cinta bukanlah sebuah perkara besar, tapi mengapa beberapa minggu ini aku begitu merasa ragu, tegang dan cemas yang berlebihan? Aku akui gadis itu adalah gadis manis bermata coklat hazel yang indah, rambut warna brown coffee sebahunya begitu serasi dengan warna kulit putihnya.

   Apabila aku menatap matanya  dan berusaha menyelaminya aku langsung merasa menjadi ‘kurang lelaki’ di hadapannya. Aku selalu terbanting dengan latar belakang dan masa laluku. Dia terlahir dari keluarga terpandang dan memiliki segalanya, sedangkan aku.... aku bahkan tidak ingat masa laluku, bila aku memejamkan mata yang teringat hanyalah lalu lalang orang di jalanan becek saat hari gerimis, dan bau anyir pasar meruap jelas.

   Orang tuaku? Aku benar-benar lupa wajah mereka, yang aku ingat hanya pelukan ibuku saat suasana dingin, dan aku menyelusup ke balik badannya mencoba mendapatkan kehangatan sambil mencuri-curi kesempatan untuk dapat menyusu. Tapi sekali lagi ternyata menyatakan cinta bukanlah perkara besar.
 
   Hanya butuh beberapa saat untuk berbasa-basi lalu mengungkapkan kata-kata pamungkas dalam satu tarikan nafas yang berlangsung selama dua detik “Aku Cinta Kamu”, semudah itu. Lalu dunia mulai terasa serba abu-abu, pandangan sedikit berkunang-kunang. Waktu menanti jawaban yang tak lebih dari satu menit itu menjadi waktu terlama, seolah menghabiskan setengah jatah waktu hidup di dunia.

   Semua kebuntuan itu tiba-tiba meledak dalam satu anggukan mantap, perutku kram, wajahku memerah, dan tiba-tiba saja suasana musim semi hadir lebih cepat, padahal sekarang bulan Desember. Gadis berambut brown coffee sebahu dan bermata hazel itu sah menjadi milikku, walau tanpa saksi, tanpa wali, dan tanpa pengakuan siapa-siapa kecuali kita berdua.

   Semudah itu, bukan sebuah perkara besar.
Ternyata musuh terbesar cinta bukanlah benci atau cemburu,  musuh terbesar cinta adalah ‘Prasangka’, ‘Prasangka’ yang dimulai dengan kata ‘Kalau’. Aku selalu berandai-andai ‘Kalau’ aku menyatakan cinta sekarang aku mungkin akan ditolak. Seketika itu aku jadi seorang akuntan. Segala kemungkinan aku hitung dengan angka dan takaran. Proses pendekatan yang aku lakukan dari hari pertama bertemu sampai hari sebelum ‘pengungkapan cinta’ aku hitung. Aku timbang bobotnya, aku persentasikan tingkat kebahagiaann setiap jamnya. Lalu menjelmalah grafik rumit yan panjang yang mengukur tingkat kebahagiaan. ‘Kalau’ grafiknya naik maka persentase kemungkinan diterima besar, ‘Kalau’ grafiknya turun aku akan kaji ulang, menunggu waktu tepat untuk ‘mengungkapkan cinta’ dan begitu seterusnya.

   Tapi aku tidak pernah ke mana-mana. Itu semua hanya imajinasi yang hadir dalam kepalaku, aku berhitung sendiri, aku menimbang dan mempersentasikan semuanya sendiri. Sampai pada puncaknya aku sadar bahwa ‘cinta’ yang sedang aku persiapkan ini hanyalah ‘cinta sendiri’, cinta berandai-andai, cinta yang hanya ada dalam imajinasi. Aku sadar dan buru-buru berusaha keluar. Tapi sudah berapa banyak waktu yang aku buang untuk mempersiapkan semua ini. Ini semua sia-sia. 
Cinta itu perbuatan, bukan angan-angan. Itu saja.

   Cinta itu absolut tidak relatif. Hukum gravitasi tidak berlaku dalam cinta. Semuanya dalam cinta tidak berbobot, mereka mengambang, semua menari dalam gerakan indah penuh harmoni, semua berputar pada sebuah ‘pusat gravitasi’ yang justru mempersetankan hukum gravitasi ‘cinta itu sendiri’. Satuan waktu tidak pernah berlaku disini. Semua serba statis. Semua diam dalam satu gerakan utuh. Mereka yang jatuh cinta membungkus diri dalam cangkang cinta, waktu mengalir melewatinya. Mereka konstan di dalamnya sampai saat mereka memutuskan keluar dari cangkang itu. Padahal cangkang itu adalah cangkang ajaib yang memutus semua koneksi terhadap dunia luar. Dalam cangkang itu tidak ada kesedihan, isinya hanya kebahagian, bahkan kesedihanpun bisa membuat mereka yang ada di dalamnya tertawa. Tertawa sampai terpingkal-pingkal, sampai berderai air mata.

   Mereka menangis, menangisi kesedihan dengan cara yang bahagia. Tak ada banyak musim dalam cangkang ini. Isinya hanya musim semi, cangkang ini menyaring semua kecemasan jadi harap, gonggongan anjing menjadi nyayian burung dan makian menjadi bisikan mesra.

   Mereka yang tinggal di dalamnya akan merasa betah berlama-lama. Tapi cangkang ini tidak bisa menyaring sebuah perasaan ‘Prasangka’ dan tidak bisa menghalangi sebuah kata ‘Kalau’. ‘Prasangka’ dan ‘Kalau’ bisa menjadikan  cangkang itu retas lalu pecah, dan para penghuninya kembali dihadapkan pada kenyataan pahit, musim gugur, gonggongan anjing dan makian, bahkan berpuluh-puluh kali lipat.

   Itulah kejadian yang aku rasakan, semua begitu indah dan menyenangkan sampai tiba-tiba cangkang itu pecah. Kami berdua berdesakan dan berusaha keluar, berusaha menambal retakan-retakan pada permukaan cangkang itu, tapi semakin hebat kami menambal semakin hebat pula ‘Prasangka’ dan ‘Kalau’ menggerogotinya. Lalu kami sadar cangkang itu tidak bisa dipertahankan lagi.

   Sekarang kami berdiri masing-masing. Telanjang digigiti dinginnya angin. Kami tak tahu jalan pulang. Kami terlalu dibuat nyaman di dunia dalam cangkang sampai kami lupa cara bertahan hidup di dunia di luar cangkang, dunia sebenarnya.

   ‘Prasangka’ dan ‘Kalau’ semakin menjadi-jadi dan menghantui setiap gerakanku. Rasanya ingin berhenti jadi manusia, walau tidak pernah serius ingin mengakhiri hidup. Tapi semua gerakanku menjadi lambat, dunia bergerak terlalu cepat, aku tak bisa mengimbanginya. Sampai suatu ketika obat tidur menjadi sahabat terbaik dan dosisnya bertambah setiap harinya, tubuhku tidak sanggup menahan, kepalaku berkunang-kunang, dunia kembali menjadi serba abu-abu, lalu gelap.

   Aku terbangun di atas   sebuah ranjang empuk yang dialasi seprai putih, tubuhku terasa sangat segar, aku berguling dan menemukan sebuah kaki laki-laki, siapa dia? Aku ikuti anatomi kaki itu sampai ke wajahnya. Sedang apa dia tidur satu ranjang denganku? Aku bangun dan berjalan ke arahnya, aku berteriak-teriak dekat wajahnya. Heran aku tak mendengarkan suara, aku hanya mendengarkan gonggongan. Aku keraskan lagi suaraku, aku malah mendengar suara gonggongan yang makin kencang. Lelaki itu terbangun, dia memelukku, aku jijik tapi merasa nyaman dalam pelukannya. “Jam berapa ini? Kamu pasti lapar.” Katanya. Dia segera bangkit dan mengeluarkan sesuatu dari dalam kulkas dan memasukkan isinya ke dalam sebuah piring kecil. “Ke sini Stevi! Waktunya makan.” Dia memanggilku dengan sebutan Stevi, dan anehnya tubuhku lamgsung merespon dan berjalan ke arahnya. Aku memalingkan wajahku ke dalam piring kecil tadi, aku tak tahu apa itu, tapi aromanya sangat menyenangkan dan membuatku lapar. Tapi tunggu, aku..... aku ini bukankah manusia, atau... aku hanya seekor anjing yang bermimpi sebagai manusia. Aku termenung, sedih, bahagia dan sekaligus bersyukur.

   Kalau aku memang benar-benar seekor anjing setidaknya aku pernah merasakan beberapa waktu menjadi manusia, dan juga aku tidak perlu merasakan kesedihan berlarut-larut karena cinta, karena dalam dunia seekor anjing tidak ada cinta, tapi apa peduliku? Makanan yang tersaji di piring ini lebih menarik perhatiaku dan membuatku sulit berpikir.

   Ada suara ketukan di pintu , lelaki yang aku pikir majikanku membukakan pintu. Gadis itu masuk. Gadis dengan rambut berwarna brown coffee yang dipotong sebahu dan memiliki bola mata indah berwarna hazel. Gadis itu tersenyum kepada lelaki itu, lalu mereka berpelukan.

   Aku hanya bisa menyaksikan sambil berdoa semoga mereka tidak pernah ke luar dari cangkang itu....

   Hey, tunggu..... apakah doa seekor anjing bisa dikabulkan???

Komentar

Nindya Safira Aztrida mengatakan…
Sampe nahan nafas bacanya. Ga nyangka, akhirnya begitu. Pemilihan kata-katanya bagus banget, mas. Sepertinya sudah lama malang melintang di dunia menulis, ya?
Salam kenal :)

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s