Berkunjung ke pusara sahabat seperti tamasya setua usia bumi. Hening. pekat. Saat aku ketuk dinding nisan mereka bergema melantunkan doa-doa.
Seharusnya tak usah ada air mata, sebab dia tidak mewakili apa-apa. Air mata bukan duta duka, pula bukan wakil bahagia. Semestinya kamu tahu itu jauh-jauh hari.
Hidup kita dulu seperti bunglon, di manapun kita berpijak kita anonim, apa pun yang kita ucap, hanya udara yang menyerap, kita sempurna dalam ketiadaan di dunia yang fana.
Terserak di antara reruntuhan porta nigra dan digigit angin dingin laut utara. Tapi, toh kita bahagia. Kita habiskan siang malam dalam fatamorgana sampai tersesat dan terlunta-lunta kembali di Jakarta.
Apalagi yang kurang? Kita sempurna. Dua raja diraja dengan tiga belas muka. Tapi satu yang kita lupa, kita cuma sepasang makhluk finit yang terjebak dalam samudera fantasi yang infinit.
Lupakanlah, itu bertahun-tahun lalu. Sekarang hanya bisa aku kunjungi kamu dalam bentuk ziarah, aku hanya bisa berbisik lewat pori-pori nisan. Tapi di manapun aku berada aku tak pernah lupa menitip doa.
Di depan gerbang pemakaman ada seekor bunglon duduk di atas jok motor. Kami saling bertatap sebentar. Aku dan bunglon pura-pura tidak saling mengenal.
Komentar