Langsung ke konten utama

DEMAM

Menulislah dengan cinta, karena jika kau menulis dengan cinta maka setiap kata akan beranak, mereduplikasi diri dan berkembang biak. Semakin banyak cinta yang kamu beri semakin banyak juga anak-anak kata yang lahir, muncul dan di atas kertasmu mereka menari, indah sekali.

Tapi yang jadi masalah adalah lagi-lagi demam ini hadir. Membuat mataku berkunang-kunang dan telapak tanganku jadi keringatan. Aku tak bisa menghadirkan cinta lewat tulisan saat demam, cinta sementara harus berperan seperti jaket. Kalau aku buka, badanku kedinginan kalau aku bekap lama-lama aku keringatan, aku ada dalam dilema yang endingnya sama-sama tidak mengenakan. Semua karena demam.

Tapi kewajiban harus purna, tak ada tawar menawar bagi seorang lelaki kalau sudah ucap janji. Dengan jari keringatan dan mata masih berkunang-kunang, aku genapkan tulisan ini walau aku selalu mahfum tak bakal ada cerita terbaik di sini. Cerita terbaik tak pernah tertuliskan, mereka abadi terkunci dalam angan. Tapi toh dengan berusaha menuliskannya berarti kita berusaha mengungkap rahasia jiwa walau kenyataannya rahasia jiwa tak akan terungkap cuma lewat goresan tinta.

Tulis sajalah, jangan terlalu banyak berpikir. Kadang terlalu lama berpikir malah jadi racun untuk niat. Tulis dengan hati lurus dan ikhlas walau kita sebenarnya tahu tulisan yang baik tidak tercipta hanya dari empat paragraf dan cinta yang murni tak akan sampai dari tulisan yang kamu cipta lewat ujung jari.

(15 hari ODOP dan pegalnya ngetik lewat hape.... hatchi... dan demampun datang lagi...)

Komentar

isni wardaton mengatakan…
Syafakallah, Mas. Lagi demam jangan minum air es. Sayang anak sayang anak, eps maksudnya sayang badan. XD

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

SAYA DAN INSPIRASI

Belakangan ini sulit sekali rasanya menghasilkan tulisan, menciptakan karya. Berjilid-jilid buku habis dibaca, berpuluh film tandas ditonton, tujuannya mencari inspirasi. Tapi apa mau dikata, otak saya tetap buntu, jari-jari saya masih saja lumpuh, imajinasi saya impoten, pun tidak satu kata yang berhasil ditulis, dan kalaupun ada yang berhasil tertulis tetap saja tanpa rasa. Hampa, tulisan tanpa makna. Kata orang saya kurang awas, tidak peka, terlalu sibuk pada hal yang besar-besar sehingga hal-hal kecil luput dari pengawasan. Saya terlalu tenggelam dengan dunia saya sendiri, asyik mencari definisi sampai alfa untuk menggenggam hikmah dari semua peristiwa. Jadilah saya penulis yang pandir, imbisil, penulis yang menulis di awang-awang. Kata seorang sahabat sudah saatnya saya berhenti bersembunyi, selalu menyenangkan bersembunyi dari orang banyak, bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa ketahuan, tapi sampai kapan? Saking lamanya saya bersembunyi dari dunia sampai saya tidak sadar ...