Bertemu dengan dia berarti berhadapan dengan tirai bening, dia menutupi tapi tak menghalangi. Tirai itu memisahkanku dari dunia luar, tapi dunia luar itu masih bisa kutatap dari tempatku berpijak.
Bermuka-muka dengan dia berarti menceburkan diri ke dalam palung terdalam di samudera, aku gelagapan menahan nafas, tapi lalu takzim, terkecoh dan terpesona pada keindahan yang selama ini tersembunyi di balik triliunan kubik air asin itu.
menatap matanya bagai menemukan sebuah anak kunci untuk membuka semua pintu. Kubuka sebuah pintu lalu di dalamnya kutemukan sebuah ruangan pucat dengan satu jendela, dan tirai jendela itu adalah sebuah tirai yang bening: dia.
Cahaya matahari menembus tirai yang bergoyang lalu menciptakan spektrum indah di atas dinding pucat. Dalam pantulannya aku menemukan sosok yang paling aku rindukan: diriku sendiri.
Aku bahagia, sebuah kebahagiaan yang tak pernah mampu aku ucapkan. Kebahagiaan yang magis dan personal saat aku menemukan aku. Lalu aku menangis sesegukan di tengah ruang kosong, suaraku bergema, memantul-mantul dalam ruang kosong menciptakan harmoni indah yang tak terperi yang tak pernah bisa aku bayangkan. Ternyata suara tangisanpun bisa menjadi sebegitu indah dan membahagiakan.
Bias cahaya menciptkan bahagia, kebahagiaan meluap menciptakan tangisan, suara tangisan bergema indah menciptakan bahagia yang baru. Betapa BAHAGIA terjebak dalam KEBAHAGIAAN yang MEMBAHAGIAKAN. Terus menerus laksana siklus abadi. terjebaklah aku dalam semesta ekstase yang tiada henti.
Di titik ini aku mengerti kenapa mereka selalu bilang kalau aku adalah IDIOT MILENIUM atau TOKOH IMBISIL ABAD INI.
Biarlah. Siapa peduli? Yang penting aku bahagia dan mereka tidak sengsara.
Komentar