Langsung ke konten utama

ISFAHAN

Bertemu dengan dia berarti berhadapan dengan tirai bening, dia menutupi tapi tak menghalangi. Tirai itu memisahkanku dari dunia luar, tapi dunia luar itu masih bisa kutatap dari tempatku berpijak.

Bermuka-muka dengan dia berarti menceburkan diri ke dalam palung terdalam di samudera, aku gelagapan menahan nafas, tapi lalu takzim, terkecoh dan terpesona pada keindahan yang selama ini tersembunyi di balik triliunan kubik air asin itu.

menatap matanya bagai menemukan sebuah anak kunci untuk membuka semua pintu. Kubuka sebuah pintu lalu di dalamnya kutemukan sebuah ruangan pucat dengan satu jendela, dan tirai jendela itu adalah sebuah tirai yang bening: dia.

Cahaya matahari menembus tirai yang bergoyang lalu menciptakan spektrum indah di atas dinding pucat. Dalam pantulannya aku menemukan sosok yang paling aku rindukan: diriku sendiri.

Aku bahagia, sebuah kebahagiaan yang tak pernah mampu aku ucapkan. Kebahagiaan yang magis dan personal saat aku menemukan aku. Lalu aku menangis sesegukan di tengah ruang kosong, suaraku bergema, memantul-mantul dalam ruang kosong menciptakan harmoni indah yang tak terperi yang tak pernah bisa aku bayangkan. Ternyata suara tangisanpun bisa menjadi sebegitu indah dan membahagiakan.

Bias cahaya menciptkan bahagia, kebahagiaan meluap menciptakan tangisan, suara tangisan bergema indah menciptakan bahagia yang baru. Betapa BAHAGIA terjebak dalam KEBAHAGIAAN yang MEMBAHAGIAKAN. Terus menerus laksana siklus abadi. terjebaklah aku dalam semesta ekstase yang tiada henti.

Di titik ini aku mengerti kenapa mereka selalu bilang kalau aku adalah IDIOT MILENIUM atau TOKOH IMBISIL ABAD INI.

Biarlah. Siapa peduli? Yang penting aku bahagia dan mereka tidak sengsara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...