Langsung ke konten utama

TEH MANIS HANGAT

Kalau berbicara tentang betapa kita seringnya bermewah-mewah menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, mungkin akulah orang yang paling sombong dalam bermewah-mewah itu....

Dua hari yang lalu mendadak saat sore badanku demam, tubuhku menggigil, kepalaku pusing. Ini mungkin disebabkan karena aku kurang tidur malam sebelumnya, terlalu asyik dengan buku dan tontonan. Sendiku sepertinya lolos semua, jangankan berjalan ke warung untuk membeli obat, berdiripun rasanya aku tidak sanggup.

Aku hanya bisa tiduran di sofa ruang tamu, gawatnya hari itu tak ada satu orangpun di rumah yang bisa aku mintai tolong. Kucoba untuk menelepon beberapa teman, tapi sialnya tak ada satupun yang mengangkat. Mungkin mereka sedang sibuk menyiapkan makanan untuk berbuka puasa.

Aku pasrah, sepertinya tak ada lagi yang bisa aku mintai bantuan, aku hanya bisa berdoa semoga demam ini tidak semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba aku ingat kamu, orang yang sepertinya akn selalu jadi pilihan terakhir untuk aku mintai bantuan, aku coba mengirim pesan, sebuah pesan tanpa disertai harapan.

Sepertinya karena kelelahan menahan demam aku ketiduran, aku tak tahu jam berapa aku bangun, seisi rumah gelap karena tak ada yang menyalakan lampu, hanya suara adzan penanda kalau sekarang sudah maghrib. Demamku semakin menjadi. Di pintu aku dengar suara ketukan, lalu suara pintu berdecit pelan. Satu wajah tampak, wajah yang mungkin tak pernah aku harap akan datang di saat seperti ini.

Kamu segera berlari mendekat, menayakan keadaanku lalu menyalakan lampu utama. Wajahmu semakin jelas sekarang walau sakit kepalaku semakin menggila. Kamu bergegas ke dapur, membawa dua gelas teh hangat.

"Minumlah, sekarang sudah saatnya berbuka puasa," katamu pelan sambil membantuku duduk.

Teh manis hangat mengalir lembut melalui tenggorokan, seperti amrita, air suci pemberi kehidupan, teh manis hangat itu bisa sedikit mengusir demam. Dengan sabar kamu menyuapiku sendok demi sendok bubur yang katanya kamu beli barusan di jalan.

Setengah mangkuk bubur sudah berpindah ke dalam perut, keadaanku sedikit lebih baik. Kamu sodorkan lagi sebutir obat penurun demam. Sepuluh menit kemudian aku sudah merasa baikan.

Kita bercakao sebentar, kamu tak pernah berubah, selalu datang dengan nasehat. Jangan sering begadang, jaga kesehatan. Mungkin karena pengaruh obat aku jadi mengantuk, aku tertidur lagi di sofa.

Jam sebelas malam aku bangun, aku menemukan jaketmu jadi selimut tidurku. Badanku sudah jauh lebih segar. Aku tak menemukan kamu di rumah ini, mungkin kamu sudah pulang waktu aku ketiduran.

Lalu aku merenung, betapa mewahnya buka puasaku hari itu, segelas teh manis hangat, semangkuk bubur dan sebutir obat penurun demam yang dibawa orang yang paling tidak diharapkan yang harus datang ke rumah ini setelah harus tiga kali turun naik angkot yang butuh waktu tak kurang dari satu jam.

Orang yang tidak diharapkan ini datang dengan keikhlasannya untukku, dan mungkin saja dia harus mengorbankan buka puasa mewahnya bersama keluaraganya.

Itulah buka puasa termewahku, bukan dengan makanan yang enak atau tempat yang eksklusif, tapi buka puasa yang memberikan arti lebih dalam setiap tegukan teh dan suapan buburnya.

(buat kamu... iya kamu, jangan berlagak celingukan. Hangatkan sisa bubur yang setengahnya untuk besok buka puasa lagi. Terima kasih ya...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U