Langsung ke konten utama

ADAM

Kalau ada dua hal yang paling absurd di dunia ini, cinta dan Farras harus masuk dalam daftar utamanya. Betapa Farras dan kisah cintanya seperti selapis kertas tipis pembeda antara waras dan gila.

Aku kenal Farras sekitar sepuluh tahun lalu di sebuah toko kaset, waktu itu kami berebut kaset Maroon 5 yang tinggal satu-satunya di toko itu. Padahal aku adalah orang pertama yang mengambil kaset itu tapi Farras ngotot lalu memohon-mohon agar aku memberikan kaset itu untuknya, berhubung dia wanita terpaksa aku mengalah. Saat kutanya kenapa dia tergila-gila dengan Maroon 5 jawabannya sangat sederhana, karena penyanyi utamanya bernama depan Adam, itu saja tidak lebih.

Setelah pertemuan itu aku jadi semakin dekat dengan Farras, dan semakin sadar bahwa dunianya hanya berputar di sekitar Adam. Dia fans fanatik pemain sinetron Adam Jordan, bukan karena ketampanannya, kualitas aktingnya atau lesung pipitnya, tapi karena nama depannya Adam, itu saja.

Bahkan suatu ketika dia pernah bercerita kalau kelak dia ingin menjadi istri dari seseorang yang namanya Adam. Saat kutanya alasannya, jawabannya mudah ditebak, karena Farras lahir dan tercipta untuk Adam.

Bahkan pernah suatu kali dia rela terbang dari Jakarta ke Palembang hanya untuk menemui salah satu teman yang dia dapatkan dari facebook yang bernama Adam, lalu beberapa hari kemudian dia meneleponku sambil sesegukan. Dia bilang Adam yang di Palembang adalah seorang penipu. Aku kaget, aku khawatir dengan Farras. Saat aku tanya apa yang sudah dilakukan Adam di Palembang terhadap dia, sambil menahan tangis dia bilang bahwa nama asli Adam di Palembang itu sebenarnya adalah Abdul Kurniawan. Dia marah dan benci luar dalam dengan Abdul kurniawan jadi-jadian yang sudah mengaku-ngaku sebagai Adam. Detik itu juga nama Adam jadi-jadian itu ter-block dari daftar teman facebooknya.

Setelah kejadian itu tak terhitung berapa kali aku mendengar keluh kesahnya dalam mencari Adam. Lalu kubilang bukankah banyak nama Adam di dunia ini, kenapa begitu sulit mencarinya, tapi dia keukeuh, dia hanya ingin orang yang namanya hanya Adam. Tidak pakai nama depan atau belakang. Hanya Adam. Bukan Adam Supriatna atau Ridwan Adam. Hanya Adam.

Aku linglung dengan cara pikirnya, apa hebatnya Adam? Ada apa dengan Adam? Sampai terkahir aku bertemu dia aku tak pernah tahu alasannya.

Beberapa bulan lalu aku bertemu lagi dengan Farras, dia tambah cantik. Dia bekerja di salah satu perusahaan besar. Dia mengajakku makan siang di salah satu restoran di daerah jalan S. Parman. Iseng-iseng aku tanya apakah dia sudah menemukan Adam. Tiba-tiba kunyahannya berhenti, wajahnya mendadak serius. Dia bilang beberapa minggu lagi dia mau berhenti dari perusahaan tempat dia bekerja sekarang. Saat kutanya alasannya dia hanya memberitahukan kalau ada temannya yang menawarkan kerja freelance sebagai tim survey di sebuah perusahaan yang baru berkembang.

Aku termenung, apa pilihannya tidak salah? Menurut dia kalau bekerja sebagai tim survey kemungkinan menemukan nama Adam akan semakin besar. Detik saat dia mengatakan itu aku berhenti mengunyah, aku kehilangan selera makan, perutku jadi mual. Tapi itu mutlak pilihannya.

Farras dan cintanya pada Adam adalah sebuah kegilaan baru di zaman milenium ini. Cinta Farras pada Adam tidak pernah pergi apalagi mati, cintanya selalu bermutasi dan memperbaharui diri setiap hari. Perlahan aku berpikir mungkin inilah cinta sejati itu, cinta yang tak butuh definisi, tapi langsung melalui intuisi dan aksi. Betapa bahagianya orang yang bernama Adam itu.

Aku berdoa semoga Farras cepat menemukan Adamnya, suatu saat di sana. Adam untuk Farras, Farras untuk Adam yang tak punya rupa.

(buat Farras yang terus bermetamorfosa)

Komentar

isni wardaton mengatakan…
Ceritanya serius nih, Mas? Kok ga masuk logika jika iya. Hahaha

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U