Langsung ke konten utama

CITRA

Sudah jarang sekali aku menemukan ego saat bercermin, setiap kali menatap wajah itu, memelototi tubuh itu, lagi- lagi yang kutemukan hanya CITRA. Padahal betapa rindunya aku pada ego, dialah yang sebenar-benarnya aku. Citra hanyalah aku yang memake-up diri agar bisa diterima lingkungan.

Saat aku jalan-jalan sore sambil membeli takjilpun aku tak bisa meenemukan ego, aku tak bisa menemukan Jajang, Wawan, Dodi atau Yoni. Di mana-mana aku menemukan Citra. Oh, Tuhan, betapa rindunya aku menemukan ego, bercakap-cakap dengan ego dan menjadi ego itu sendiri.

Di dunia yang serba kompleks dan rumit ini  ada satu kekuatan yang ingin mematikan kompleksitas itu sendiri, ingin menyamakan semua ego menjadi satu kesatuan yang sama: Citra.

Kalau kamu makan di Restoran Jepang padahal lidah kamu merasa asing dengan washabinya, bahkan dengan sumpitnyapun kamu merasa bermusuhan, berarti yang sedang duduk dan makan di situ bukanlah kamu, tapi Citra. Kamu yang sebenar-benarnya kamu sedang kelaparan, kurus kering, kena gizi buruk karena semua nutrisinya diserap oleh Citra.

Kamu yang merasa lebih dekat dengan sahabat dan kerabat karena banyaknya fasilitas dalam berkomunikasi seperti telepon, whatsapp dan BBM sebetulnya malah mengucilkan dirimu lebih jauh ke balik jeruji, Citra yang beretelepon dan chat melalui semua fasilitas itu, sedangkan ego kesepian, merasa diasingkan dan menyendiri.

Ah, betapa inginnya aku melihat kalian kembali menjadi ego, berani sedikit demi sedikit melepas selubung Citra yang selalu kalian sanjung puja.
Angin, Matahari, Tanah dan rerumputan sangat rindu pada ego, ego yang murni dan terlahir dari Tuhan.

(corat coret di atas bungkus serabi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U