Langsung ke konten utama

SUP PENDIDIKAN

Setiap awal tahun ajaran baru saya selalu saja melihat banyak ‘orang gila’ musiman. Mereka ramai-ramai bergelantungan di pintu Kopaja, berdesak-desakan dalam angkot, terguncang-guncang dalam bajaj atau terkantuk-kantuk di boncengan tukang ojek. Mereka memakai kaus kaki warna-warni, ikat rambut dari tali rapia, berselempangkan tas dari kantong kresek, aksesoris dari bungkus permen atau kulit jengkol,  mereka berjalan sambil tertunduk-tunduk malu karena jadi perhatian di pusat keramaian.

Beberapa hari sesudahanya pasti ramai diberita, ada anak sekolah yang kena tempeleng senior, ada orang tua yang melapor ke pihak kepolisian karena anaknya diperlakukan di luar batas kewajaran, bahkan yang paling miris ada yang sampai harus meregang nyawa, jadi korban dari program konyol yang dinamakan Masa Orientasi Siswa (MOS). Lalu para pejabat dari tingkat atas sampai tingkat yang paling bawah mulai kasak-kusuk mencari siapa yang salah, mulai mempertanyakan urgensi program MOS. Sesuai adat kebiasaan bangsa ini yang tak pernah mau belajar lalu dibuatlah Panitia Pengawas, Penyelidik, Panitia Khusus atau apalah namanya untuk mengevaluasi relevansi program MOS dengan pendidikan.

Prosesnya butuh waktu bertahun-tahun sampai ada beberapa puluh anak yang kena tempeleng lagi, sampai puluhan orang tua yang melapor ke Polisi karena tidak terima anaknya diperlakukan dengan tidak wajar, sampai ada anak bangsa yang harus mati sia-sia lagi.

Idealnya program MOS ditujukan untuk masa siswa baru mengenal lingkungan sekolahnya dan melatih mental, kedisiplinan, kejujuran dan kemandirian, tapi tidak dengan cara mendandani mereka seperti orang gila, melatih mental bukan dengan cara main pukul apalagi harus menagih ‘upeti’ berupa coklat atau surat cinta.

Miris juga kalau kita masih berkutat tentang penting atau tidaknya program MOS. Di Finlandia sana sebagai kiblat pendidikan dunia dalam lima tahun ke depan akan menghapuskan semua pelajaran eksak(Matematika, Fisika, Kimia). Mereka mawas diri, paham benar kalau pendidikan harus berjalan dinamis, harus sanggup bersaing dengan zaman. Satu dasawarsa sebelumnya Stephen Wolfram pernah berkata kalau ilmu eksak manusia bergerak ke arah yang salah dalam perkembangannya dan semakin hari perkataannya semakin terbukti benar. Teori cellular automata bisa menjelaskanya dengan gamblang. Finlandia dan beberapa negara Skandinavia lainnya tahu benar akan hal ini, makanya buru-buru mengubah arah pendidikannya, mereka emoh direcoki hal-hal yang tidak penting semacam program MOS ini, kalaupun ada pasti prakteknya jauh berbeda dengan di negara kita.

Sepertinya sudah jelas, tidak perlu berlarut-larut, hapuskan saja, tantangan pendidikan Indonesia ke depan jauh lebih penting dan jauh lebih menantang. Semoga kita bisa menikmati sup pendidikan secara total, sup yang bergizi dan menyehatkan, bukan justru sibuk mengemili remah-remah yang tidak penting. Jangan sampai separuh abad ke depan para pelajar Indonesia justru jadi objek penelitian bangsa-bangsa maju karena masih jadi bangsa terbelakang yang sibuk dengan program sia-sia dan masih setia mempelajari ‘artefak’ ilmu eksak yang sudah jauh-jauh hari mereka musiumkan.

new ODOP #1
Jumat, 31 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U