Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 6

TEBING

“Apa yang kamu lakukan di situ, Nak?” Pak Samir berkata pada seorang pemuda yang sedang berdiri di ujung tebing. Pemuda itu tidak bergeming.

“Mari mampir dulu ke rumah bapak. Kita bisa ngobrol sambil minum kopi di sana. Di sini banyak angin dan udaranya dingin.” Pak Samir melanjutkan. Pemuda itu berbalik. Pak Samir tersenyum penuh arti.

*****

“Kamu masih muda dan cantik. Perjalanan hidup kamu masih panjang. Tidak baik berdiri sendiri di sini. Kita ke rumah bapak. Di sana kita bisa ngobrol sambil minum teh.” Pak Samir berkata sambil menyodorkan tangan kanannya.

Perempuan muda itu ragu-ragu. Pak Samir tersenyum lembut sambil mengangguk. Perempuan muda itu menghapus air mata yang berlelehan di pipinya. Dia menyambut tangan Pak Samir.

*****

Hari ini rumah pak Samir ramai dikunjungi orang. Pak Samir meninggal diusianya yang ke tujuh puluh dua. Pak Samir hidup menyendiri dan tidak punya keluarga. Semua keluarganya tewas dua puluh tahun lalu dalam sebuah kecelakaan. Pesawat terbang yang mereka tumpangi mengalami turbulensi dan menukik ke dalam samudera. Semua awak dan penumpang tidak pernah diketahui keadaannya. Sejak saat itu Pak Samir menarik diri dari masyarakat. Dia jual rumah dan tananhnya lalu mendirikan rumah dekat sebuah tebing yang selalu tertutup kabut. Di sanalah dia menghabiskan sisa hidupnya. Berusaha menyelamatkan nyawa sebanyak yang dia bisa.

Oma Hilda dan Lara berada di antara ratusan pelayat yang hadir. Mereka semua bukan keluarga atapun kerabat pak Samir. Tapi semua memiliki ikatan batin yang kuat dengan lelaki yang selalu tersenyum itu. Pada satu titik dalam kehidupan mereka, mereka pernah disentuh oleh cahaya dan kelembutan hati Pak Samir. Mereka adalah orang-orang yang berhasil bangkit dari keterpurukan dan menggagalkan aksi bunuh diri yang sia-sia dengan terjun dari atas tebing berkabut. Semua merasa terselamatkan oleh Pak Samir, tak terkecuali Oma Hilda.

Semakin siang jumlah pelayat semakin banyak. Oma Hilda mengajak Lara untuk menjauh dari kerumunan. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak sempit berbatu-batu. Suasana tempat ini selalu sejuk dan berkabut. Mereka sampai di ujung jalan setapak. Di sana ada sebuah bangku panjang, beberapa meter di sebelah kiri bangku panjang tersebut ada sebuah tebing yang menghadap langsung pada jurang dalam. Dasar jurang tidak pernah terlihat karena selalu tertutup kabut.

“Beberapa puluh tahun lalu Oma pernah ada di sana, Lara.” Kata oma Hilda sambil menunjuk ke tebing.

“Untuk apa Oma berada di situ?” tanya Lara sambil membersihkan bangku dari daun kering yang gugur.

“Karena alasan yang sama dengan orang-orang yang kini sedang berada di rumah Pak Samir sekarang.” Lara tercekat.

“Berarti Oma juga pernah terpikir untuk bunuh diri?” Oma Hilda mengangguk. Matanya menerawang ke peristiwa beberapa puluh tahun lalu. Saat suaminya meninggal karena kanker darah dan dirinya divonis dokter tidak akan pernah memiliki keturunan. Oma Hilda dinyatakan mandul. Tiba-tiba dunia menjadi gelap. Tak ada lagi tujuan dalam hidupnya. Semua harapan Oma Hilda lenyap seketika.

“Iya, Oma pernah berpikir seperti itu, dan mungkin hari ini Oma tak akan pernah duduk disini bersamamu jika hari itu Oma tidak bertemu Pak Samir.” Oma Hilda menghembuskan nafas dengan berat. Mengenang peristiwa itu seperti menuangkan cuka dalam luka. Perihnya tetap masih terasa, ternyata waktu tidak bisa sepenuhnya menyembuhkan luka.

Lara termenung. Betapa dirinya ingin berterima kasih pada Pak Samir karena pernah menyelamatkan satu-satunya orang terbaik dalam hidupnya, Oma Hilda.

“Kenapa tempat ini menjadi tempat yang sering dijadikan bunuh diri, Oma?” tanya Lara.

“Karena ini tempat yang sepi dan indah Lara. Ketika kamu merasa tersisih dalam hidup, kamu hanya akan merindukan dua hal.” “Apa itu, Oma?”

“Pertama kamu ingin kembali masuk ke dalam rahim ibu kamu dan berharap tak pernah dilahirkan, dan yang kedua kamu ingin mengakhiri hidup kamu di tempat yang sepi dan indah, berharap agar kamu selamanya tak pernah ditemukan.”

“Lalu kenapa mereka tidak mencoba hal yang lebih mudah? Gantung diri, menyayat nadi atau memanjat gedung yang tinggi?” Lara bertanya. Nalarnya masih belum bisa mencerna alasan Oma Hilda. Oma Hilda tersenyum.

“Mereka yang bunuh diri dengan cara seperti itu tidak sepenuhnya ingin bunuh diri, Lara.”

“Maksud Oma?” kening Lara berkerut.

“Mereka hanya butuh perhatian, mereka merasa disingkirkan dan ingin membalas dendam kepada masyarakat yang sudah mengucilkan mereka. Bukankah penyesalan terbesar manusia adalah saat mereka gagal menyelamatkan manusia lainnya. Jadi dengan mereka bunuh diri di keramaian dan memancing perhatian akan menimbulkan rasa bersalah bagi mereka yang sudah mengucilkan.” Lara mengangguk-ngangguk, dia mulai paham.

“Dan mereka yang buhuh diri di tempat ini?” Lara kembali meneruskan pertanyaannya.

“Mereka yang mencoba bunuh diri di tempat ini tidak ingin melukai siapa-siapa saat mereka pergi. Mereka bunuh diri hanya karena merasa lelah dan frustasi. Mereka hanya ingin kedamaian, walaupun dengan jalan yang salah. Untunglah Pak Samir selalu ada untuk kami di titik paling penting dalam kehidupan kami.” Oma Hilda memalingkan pandangannya ke arah rumah Pak Samir.

“Lihatlah mereka. Mereka semua masih ada dan hidup karena cinta Pak Samir pada kehidupan. Jadi Lara, mulai sekarang hargailah setiap detik dalam kehidupan kamu, entah itu saat yang menyenangkan atau meyedihkan. Karena mungkin di detik itu ada orang lain yang sedang berdiri di tebing dan siap menukarkan semua yang dia miliki dengan beberapa detik dalam hidup kamu.” Lara mengangguk.

Mereka berdiri dan berjalan menuju rumah Pak Samir. Angin bertiup kencang dan berputar di dalam rongga jurang, getarannnya menimbulkan gema seperti ribuan orang yang berdoa. Kabut tetap menutup dasar jurang. Entah cerita apalagi yang akan tercipta di tempat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s