OMA HILDA
Secara kejiwaan Lara seperti gadis remaja kebanyakan, selalu penasaran dengan semua perubahan dan berusaha bersikap terbuka. Selalu mencoba eksis agar tidak teralienasi dengan zaman. Tapi apa boleh buat, dia memang tidak terlihat seperti gadis remaja kebanyakan, secara fisikpun dia sedikit berbeda, kulitnya terlalu pucat, rambutnya kemerahan dan warna matanya coklat terang. Tapi dia tidak pernah mengeluhkan tentang itu, walaupun dia selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Baginya mengejek dirinya berarti mengejek kuasa otomatisasi Tuhan atas salah satu ciptaannya.
Kehidupan Lara hanya berkutat antara rumah dan sekolah. Tidak banyak orang yang dekat dengannya kecuali Oma Hilda, Nikki dan Emir. Mereka berempat ada untuk saling menggenapi, seperti kaki meja untuk menampung rupa-rupa hidangan yang kelak akan disajikan di hadapan Tuhan. Kalau satu kaki hilang maka meja akan timpang, kalau dua hilang maka tumpahlah semua hidangan, kalau tiga hilang... bayangkan apa yang akan kamu lakukan pada sebatang kayu.
Dalam pusaran keempat orang inilah Lara menemukan dunianya, bukan dunia penuh warna yang menyenagkan, bukan pula sebuah dunia monokrom yang menjenuhkan. Di antara mereka Lara menemukan sebuah dunia abstrak yang bertabur warna. Sebuah keindahan otentik tapi absurd yang hanya dipahami oleh mereka berempat.
Di hadapan Oma Hila, Lara merasa menemukan mataharinya. Oma Hilda adalah pusat gravitasi sekaligus penerang, penentu arah mana yang harus dia lalui, penunjuk arah yang pasti, pembeda antara atas dan bawah. Lara bahagia setiap kali dekat dengan Oma Hilda.
Suatu ketika saat menemani Oma Hilda minum teh di beranda rumah pada suatu sore yang berangin Oma Hilda menjelaskan kalau Lara bukanlah anak kandungnya. Sebuah pukulan telak bagi Lara, sebuah pengakuan yang menjelaskan kenapa secara fisik mereka jauh berbeda. Seketika teh yang semula manis jadi hambar, dan sore terlalu cepat berlalu menjadi malam yang pekat tanpa bintang. Lara ingin menangis tapi tak tahu menangis untuk alasan apa. Apakah dia harus menyesali cinta yang sudah diberikan Oma Hilda selama ini atau dia harus menangisi nasibnya yang berarti juga menyesali otomatisasi Tuhan atas dia?
Oma Hilda tersenyum dan bercerita kalau setiap nasib manusia itu seperti konstelasi bintang. Semua bergerak mendekat karena ada keinginan terikat satu sama lain, lalu setelah bersatu mereka bergerak indah jadi harmoni yang kadang jadi petunjuk bagi nelayan yang sesat di tengah samudera. Begitupun Oma Hilda dan Lara. Oma Hilda bertahun-tahun mendamba anak sampai suatu ketika Tuhan menitipkannya seorang bayi perempuan yang cantik di malam berhujan di akhir Desember.
“Tulisan ini...” kata Oma Hilda sambil menunjukkan pesan yang disertakan dalam kardus di mana Lara diletakkan. “Tulisan ini adalah jawaban Tuhan atas doa-doa Oma setiap malam. Tulisan ini ancaman sekaligus pengesahan dari Tuhan, bahwa Oma sudah dianggap layak dan bisa berperan sebagai seorang ibu yang ditugaskan mengasuh sebuah kehidupan. Kehidupan kamu, Lara.”
Mata Lara berkaca-kaca. Dia tidak menangisi nasibnya, karena dia sadar bahwa Tuhan mendekatkan dirinya pada Oma Hilda dengan sebuah alasan. Lara memeluk Oma Hilda. Menghirup aroma tubuh Oma Hilda yang selalu berbau aroma kayu manis, teh, kopi dan tembakau selalu menenangkan, seolah itu adalah anastesi alami, obat penawar perih yang membuatnya kebal dari serangan derita kehidupan.
Komentar