Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 2

OMA HILDA

Secara kejiwaan Lara seperti gadis remaja kebanyakan, selalu penasaran dengan semua perubahan dan berusaha bersikap terbuka. Selalu mencoba eksis agar tidak teralienasi dengan zaman. Tapi apa boleh buat, dia memang tidak terlihat seperti  gadis remaja kebanyakan, secara fisikpun dia sedikit berbeda, kulitnya terlalu pucat, rambutnya kemerahan dan warna matanya coklat terang. Tapi dia tidak pernah mengeluhkan tentang itu, walaupun dia selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Baginya mengejek dirinya berarti mengejek kuasa otomatisasi Tuhan atas salah satu ciptaannya.

Kehidupan Lara hanya berkutat antara rumah dan sekolah. Tidak banyak orang yang dekat dengannya kecuali Oma Hilda, Nikki dan Emir. Mereka berempat ada untuk saling menggenapi, seperti kaki meja untuk menampung rupa-rupa hidangan yang kelak akan disajikan di hadapan Tuhan. Kalau satu kaki hilang maka meja akan timpang, kalau dua hilang maka tumpahlah semua hidangan, kalau tiga hilang... bayangkan apa yang akan kamu lakukan pada sebatang kayu.

Dalam pusaran keempat orang inilah Lara menemukan dunianya, bukan dunia penuh warna yang menyenagkan, bukan pula sebuah dunia monokrom yang menjenuhkan. Di antara mereka Lara menemukan sebuah dunia abstrak yang bertabur warna. Sebuah keindahan otentik tapi absurd yang hanya dipahami oleh mereka berempat.

Di hadapan Oma Hila, Lara merasa menemukan mataharinya. Oma Hilda adalah pusat gravitasi sekaligus penerang, penentu arah mana yang harus dia lalui, penunjuk arah yang pasti, pembeda antara atas dan bawah. Lara bahagia setiap kali dekat dengan Oma Hilda.

Suatu ketika saat menemani Oma Hilda minum teh di beranda rumah pada suatu sore yang berangin  Oma Hilda menjelaskan kalau Lara bukanlah anak kandungnya. Sebuah pukulan telak bagi Lara, sebuah pengakuan yang menjelaskan kenapa secara fisik mereka jauh berbeda. Seketika teh yang semula manis jadi hambar, dan sore terlalu cepat berlalu menjadi malam yang pekat tanpa bintang. Lara ingin menangis tapi tak tahu menangis untuk alasan apa. Apakah dia harus menyesali cinta yang sudah diberikan Oma Hilda selama ini atau dia harus menangisi nasibnya yang berarti juga menyesali otomatisasi Tuhan atas dia?

Oma Hilda tersenyum dan bercerita kalau setiap nasib manusia itu seperti konstelasi bintang. Semua bergerak mendekat karena ada keinginan terikat satu sama lain, lalu setelah bersatu mereka bergerak indah jadi harmoni yang kadang jadi petunjuk bagi nelayan yang sesat di tengah samudera. Begitupun Oma Hilda dan Lara. Oma Hilda bertahun-tahun mendamba anak sampai suatu ketika Tuhan menitipkannya seorang bayi perempuan yang cantik di malam berhujan di akhir Desember.

“Tulisan ini...” kata Oma Hilda sambil menunjukkan pesan yang disertakan dalam kardus di mana Lara diletakkan. “Tulisan ini adalah jawaban Tuhan atas doa-doa Oma setiap malam. Tulisan ini ancaman sekaligus pengesahan dari Tuhan, bahwa Oma sudah dianggap layak dan bisa berperan sebagai seorang ibu yang ditugaskan mengasuh sebuah kehidupan. Kehidupan kamu, Lara.”

Mata Lara berkaca-kaca. Dia tidak menangisi nasibnya, karena dia sadar bahwa Tuhan mendekatkan dirinya pada Oma Hilda dengan sebuah alasan. Lara memeluk Oma Hilda. Menghirup aroma tubuh Oma Hilda yang selalu berbau aroma kayu manis, teh, kopi dan tembakau selalu menenangkan, seolah itu adalah anastesi alami, obat penawar perih  yang membuatnya kebal dari serangan derita kehidupan. 

Komentar

isni wardaton mengatakan…
Weeez daleeem nih ceritanya, :)
Syaiha mengatakan…
Nggak sabar nunggu kelanjutannya..

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...