Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 8

ADA ISFAHAN DI MANHATTAN

Beberapa hari terakhir ini Lara merasa tidurnya kurang nyenyak. Ada sesuatu yang dia rindukan. Padahal perasaan itu tak pernah dia rasakan sebelumnya. Jangankan merasakan, berpikir dan mengharapkan perasaan itu hadir saja sepertinya tabu untuknya. Tapi perasaan ini hadir begitu saja denagn tiba-tiba, merenggut senyumnya dan menggantikan dengan rasa muram. Perasaan ini begitu mencengkeram. Lara terjebak dan tidak bisa lepaas.

Oma Hilda yang menyadari keadaan Lara meminta Emir dan Nikki untuk menghiburnya. Mengajak Lara jalan-jalan, menghiburnya dengan lampu-lampu, nyanyian dan tontonan. Tapi rasanya sia-sia. Seterang apapun nyala lampu, seindah apapun nyanyian dan semenarik apapun tontonan tidak bisa menghilangkan rasa rindu Lara.

Perasaan itu  hadir dari dalam diri dan secara tiba-tiba, jadi percuma mencari obat dari luar, mencoba menghibur diri dengan keriuhan tak akan berpengaruh banyak. Karena sumber kekosongan berasal dari dalam.

Oma Hilda merasa sangat sedih. Bagaimanpun sudah ada kontak batin yang kuat di antara keduanya. Saat Lara bersedih, Oma Hilda yang menangis. Begitupun sebaliknya. Saat Lara dirundung perasaan hampa yang tak berkesudahan Oma Hilda juga merasakan kesedihan, dan kesedihan Oma Hilda memperparah perasaan hampa dalam diri Lara. Jadilah mereka terjebak dalam kesedihan dan rasa hampa yang tak berkesudahan.

Suatu malam saat Lara sudah tidur perlahan-lahan Oma Hilda masuk ke dalam kamar Lara. Ada sesuatu yang harus dia sampaikan dan dia yakin jika saat ini adalah waktunya. Oma Hilda membangunkan Lara pelan-pelan dengan membelai lembut kening anak angkat kesayangannya itu.

Lara terbangun dan melihat Oma Hilda duduk di samping ranjnannya. Lara duduk dan menatap wajah Oma Hilda. Dia merasa ada sesuatu yang penting.

“Ada apa, Oma?” tanya Lara dengan suara lembut.

Oma Hilda menyodorkan sebuah kardus. Lara menerimanya dengan perasaan bertanya-tanya.
“Terimalah, kamu berhak mengetahuinya.” Kata Oma Hilda.

Lara menaruh kardus itu di atas ranjangnya dan membuka tutup kardus dengan perlahan-lahan. Kardus ini kelihatannya sudah sangat tua, terlihat dari warnanya yang sudah mulai buram. Di dalamnya Lara menemukan sebuah kain. Sebuah kertas bertuliskan ‘TOLONG JAGA ANAK INI’, sebuah album foto dan sebuah amplop.

“Inilah rahasia yang harus kamu tahu, Lara. Mulailah dari amplop itu.” Kata Oma Hilda sambil menunjuk pada amplop yang ada dalam kardus.

Kening Lara berkerut. Dia mengambil amplop dan mengeluarkan isinya. Dia memalingkan pandangannya ke arah Oma Hilda, meminta persetujuan untuk membacanya. Oma Hilda mengangguk. Lara mulai membaca isi surat.

‘Buat Hilda.

Maaf kalau aku menitipkan sesuatu yang begitu berat kepadamu. Hanya kamulah orang yang aku percaya untuk merawat anak ini. Setelah kematian Lana aku merasa guncang dan merasa tak mampu merawat anak ini. Aku memutuskan untuk pulang ke Manhattan. Tapi aku berjanji suatu saat aku akan kembali.

Mario.’

Pikiran Lana mulai meraba-raba sebuah kemungkinan.

“Lana siapa, Oma?”

“Ibumu.” Kata Oma Hilda singkat.

Lana dengan gerakan cepat mengambil album foto dan membukanya. Di sana dia banyak menemukan foto seorang gadis cantik dan seorang pria bule. Mereka tampak serasi. Dalam foto itu mereka tampak sangat bahagia.
Lara menatap wajah Oma Hilda, meminta penjelasan.

“Ya. Itulah Lana ibumu dan Mario ayahmu.”

Tiba-tiba Lara merasakan pipinya basah. Pandangannya mulai buram terhalang air mata.

“Ibumu adalah seorang gadis yang baik. Sayang dia tidak berhasil bertahan saat melahirkan kamu, Lara. Ibumu meninggal di hari kelahiran kamu.”

Air mata Lara semakin deras mengalir. Dia sesegukan dan jatuh memeluk Oma Hilda. Oma Hilda merengkuh tubuh Lara dengan erat, mencoba mengalirkan kekuatan. Salah satu kewajibannya tunai sudah.

“Lalu bagaimana dengan ayah Lara dan anggota keluarga yang lainnya?” tanya Lara diantara deru tangisnya.

“Ayahmu adalah seorang ayah yang baik. Dia pasti akan kembali. Oma tidak pernah tahu keluarga ibu kamu. Oma adalah teman Lana saat kuliah dulu.” Terang Oma Hilda.

“Di mana makam mama, Oma?” tanya lara lagi.

“Besok akan Oma tunjukkan.” Oma Hilda melepas pelukannya. Lalu bangun dan berjalan ke luar kamar. Lara masih saja terus sesegukan sambil membuka-buka album foto, berharap menemukan potongan sejarah hidupnya.

Hatinya sekarang mulai sadar, tak ada yang perlu dia benci dari kedua orang tuanya. Tapi Lara tak berniat berhenti menangis, dia ingin menuntaskan semua kesedihanya malam itu. Oma Hilda duduk di ruang tamu, matanya basah. Dia masih bisa mendengar suara tangisan Lara dari dalam kamar tapi tak ada niat baginya untuk menghentikannya. Biarlah semua kesedihan itu tuntas malam ini, pikirnya.

Di antara gemerlap dan meriahnya Jakarta ternyata masih ada lagu sendu dan tangisan yang terselip dalam hingar bingar malam. Masih ada tiupan angin dingin dan senandung isfahan dalam riuhnya gemerlap kunang-kunang Manhattan.

Biarlah malam ini lagu sendu dan isfahan itu hinggap ke dalam hati Lara, Oma Hilda, Mario dan Lana. Biarlah mereka menangis sejadi-jadinya sampai habis air mata mereka. Sampai besok matahari terbit dan membawa kebahagiaan baru bagi mereka. Biarlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U