Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 12

KONSTELASI PERTAMA

Tempat paling magis yang diciptakan alam adalah pantai. Pantai adalah tempat pertemuan antara daratan dan lautan. Jika kita berdiri di batas antara dua dunia itu kita akan disuguhi pemandangan fantastis, di bahu kiri kita langit yang kemerahan dan di bahu kanan kita malam yang pekat. Deburan ombak yang berkejaran ke daratan akan menciptakan irama ritmik yang menghipnotis. Pantai adalah tempat terbaik untuk menyepi sekaligus berhura-hura. Pantai adalah sebuah garis ajaib yang tak pernah ada duanya.

Anna sedari tadi memperhatikan siluet gadis yang menghadap matahari di tepi pantai itu. Rambutnyanya yang panjang dan berkibar-kibar menambah indah pemandangan dengan latar langir merah dan warna laut keemasan. Anna yakin jika gadis ini adalah gadis yang sudah lama dia tunggu-tunggu. Gadis yang sudah ditakdirkan untuk menjalani sebuah peristiwa besar. Beberapa puluh meter dari garis pantai ada dua orang pemuda yang sedang asyik berenang dan berkejaran.

Anna maju beberapa langkah sambil meyakinkan diri untuk menyapanya. Ada perasaan ragu dan enggan tapi dia juga merasa memiliki sebuah kewajiban yang harus dia laksanakan.

“Ehmm….” Anna mencoba menarik perhatian gadis itu. Gadis itu menoleh. Anna tak bisa melihat wajah gadis itu karena posisinya membelakangi matahari.

“Ada perlu apa?” gadis itu bertanya. Anna maju beberapa langkah lagi untuk mensejajarkan dirinya dengan posisi gadis itu berdiri.

“Lara…. Bagaimana kabarmu?” tanya Anna dengan suara sedikit dikeraskan untuk menyaingi suara ombak. Gadis itu tampak sedikit kaget.

“Dari mana kamu tahu namaku?” gadis itu sedikit melangkah mundur, menjauh dari Anna. Rambutnya yang panjang berkibar semakin liar menciptakan kesan medusa berlatar warna langit kesumba.

Anna tetap berusaha bersikap tenang.

“Tidak penting aku tahu namamu dari mana. Yang terpenting adalah aku sudah memastikan  kalau keadaanmu baik-baik saja.” Kata Anna dengan suara sedikit lebih tenang.

“Apa maksudmu?” Lara bingung dengan maksud Anna.

Anna memajukan lagi tubuhnya, sekarang mereka bertatatap-tatapan secara langsung. Anna bisa melihat wajah sebelah kiri Lara, Larapun bisa melihat jelas wajah sebelah kanan Anna.

Tidak salah lagi, dia memiliki mata itu. Batin Anna.

“Suatu saat semua rahasia akan terbuka untukmu, Lara. Tugasmu sekarang adalah menyiapkan diri sebaik-baiknya.”

“Heh, apa maksudmu?” Lara mulai emosi dan merasa dipermainkan. “Kamu mabuk, ya?” racaunya lagi dengan penuh emosi.

“Apakah Oma Hilda belum menceritakan sesuatu kepadamu?” tanya Anna tenang.
Lara tersentak.

“Dari mana kamu tahu tentang Oma Hilda?” Lara semakin penasaran.

“Sudah kukatakan, tidak penting apa yang aku ketahui tentang kamu. Yang terpenting adalah apa yang akan kamu ketahui nanti dan kamu harus memepersiapkan dirimu sebaik mungkin.”

“Apa yang akan aku ketahui?”

“Lihatlah itu!” Anna menunjuk ke arah cakrawala. “Matahari yang sudah tenggelam setengah menciptakan pantulan di permukaan laut, seolah-olah matahari itu masih utuh. Tapi kalau kamu perhatikan bayangan itu tidak pernah sesempurna benda aslinya.” Anna memperhatikan bayangan itu bergoyang-goyang di atas permukaan laut yang gelisah. Bayangan itu tak pernah tetap dan kukuh seperti matahari yang dia pantulkan.

“Aku tidak mengerti.” Kata Lara.

“Kamu akan paham secara utuh apa yang aku sampaikan suatu saat nanti. Sekarang tugas kamu adalah menggenapkan pertanyaan dalam dirimu yang belum kamu temukan jawabannya.”

“Pertanyaan apa?”

Anna menatap mata Lara dengan tajam. Ada kilatan dalam kepala Lara yang hadir secara tiba-tiba. Lara paham maksud Anna, dia tidak bisa lagi berbohong atau berpura-pura tidak tahu.

“Teruslah mencari walau kadang-kadang semua jawaban dari pertanyaanmu seperti kabut yang justru malah akan membuatmu semakin bingung.”

“Kalau pada akhirnya aku tak pernah mampu menemukan jawabannya apa yang akan terjadi?”

“Jawaban itulah yang akan menemukanmu, selama kamu tidak pernah berhenti mencoba mencarinya.”

Lara mulai paham, tapi masih saja ada yang mengganjal dalam hatinya.

“Ooooii….ooiiiii…. jangan bengong!” tiba tiba Nikki dan Emir berlari-lari ke arah Lara.

Lara seperti orang yang baru tersadar dari lamunannya. Dia mencari-cari gadis yang tadi berbicara dengannya, tapi sia-sia gadis itu sudah tidak ada. Gadis itu hilang begitu saja. Lara mulai ragu apakah percakapan tadi benar-benar terjadi atau hanya khayalan dalam kepalanya saja.

“Ayo kita siap-siap pulang. Sudah hampir malam.” Kata Nikki mengingatkan.

Lara masih belum pulih total kesadarannya. Emir menghampirinya. Lara menatap mata Emir. Emir menggangguk tanda paham. Hal ini justru semakin membuat Lara bertanya-tanya. Tapi dia ingat perkataan gadis tadi, ada saatnya dia akan mengerti semuanya, saat ini tugasnya hanya bertanya-tanya sambil mencari, itu saja.

Komentar

Unknown mengatakan…
Jika Balada lara berhubungan dengan big bang pertama, Maka sempurnalah kebingungan saya dalam mencari teori kemungkinan terhubungnya dua novel tersebut. Petak umpet percintaan, Amir, Amelia,Rumah sakit, Nikki dan pelacur yang ditemuinya tiga bulan lalu. Huuuffttt, Ijinkan saya geleng kepala dahulu untuk sejenak. Jadi kita tunggu saja, apakah trilogi atau tetralogi yang akan terlahir? Diantara bau karbol saya tunggu dengan harap-harap cemas suara tangisan-tangisan selanjutnya.

NB : Support dan sindiran kadang-kadang berbanding lurus.

NB 2 : Hehehe

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s