Langsung ke konten utama

BALADALARA - PART 11

SI MAHKLUK TENGAH

Tengah malam di Jakarta saat musim panas selalu menyenangkan. Lara, Oma Hilda, Nikki dan Emir sedang duduk di atas balkon rumah. Langit cerah, bintang bertaburan. Malam yang biasanya gelap sekarang tampak benderang. Angin semilir mengusir hawa gerah yang mengganggu sejak siang

Empat gelas bandrek terhidang di meja. Lara tengadah memfokuskan pandangannya pada langit.

“Ada berapa banyak bintang di langit, Oma?” tanya Lara. Pandangannya masih tertuju pada langit yang tampak semakin benderang.

“Entahlah. Apakah kamu bisa menghitungnya, Lara?” tanya Oma membalikan pertanyaan Lara.

Lara mengalihkan pandangannya pada Oma Hilda. Dia menggelengkan kepalanya. Oma Hilda tersenyum.

“Mungkin milaran jumlahnya, Oma.” Kata Nikki tiba-tiba menimpali.

“Bisa saja.” Jawab Oma. “Tak ada yang pernah tahu pasti.” Lanjutnya.

“Apakah semua ini tercipta dengan tujuan tertentu?” Emir ikut bertanya.

“Pasti. Coba kamu bayangkan. Kita berempat ada di rumah ini. Rumah ini ada di Jakarta. Jakarta ada di pulau Jawa. Pulau Jawa bagian dari Indonesia. Indonesia terletak di Asia Tenggara. Asia Tenggara hanyalah bagian kecil dari Benua Asia, dan ada lima benua lainnya di bumi ini. Bumi kita sendiri hanya salah satu dari delapan planet di tata surya. Tata surya kita hanya titik di tepi Bimasakti. Bimasakti beredar mengelilingi pusat semesta yang luasnya lebih dari tiga miliar tahun cahaya. Bisa kalian bayangkan ciptaan yang luar biasa luas akan jadi sia-sia jika tanpa tujuan.” Oma Hilda menjelaskan panjang lebar. Nikki, Lara dan Emir hanya mengangguk-angguk. Pikiran mereka ikut melayang terbang ke ujung-ujung semesta bersama kata-kata Oma Hilda.

“Apakah dalam semesta yang maha luas ini kita sendirian, Oma?” tanya Nikki semakin penasaran.

Oma Hilda tidak lekas menjawab pertanyaan Nikki. Dia mengalihkan pandangannya pada bintang-bintang.

“Begitu banyak yang kita belum ketahui. Bersyukurlah manusia tercipta dengan tengkorak yang keras. Tengkorak itu tida hanya berfungsi sebagai pelindung otak. Tapi dia juga penjaga stabilitas hak asasi manusia secara keseluruhan.” Jawab Oma berusaha sedikit menghindar dari pertanyaan.

Lara yang kurang paham semakin penasaran. Di sekolahnya dia hanya mengetahui kalau fungsi tengkorak sebagai pelindung otak.

“Apakah tengkorak punya fungsi yang lain, Oma?” tanyanya.

“Iya. Manusia adalah mahkluk berakal. Ini juga berarti rasa penasaran dalam dirinya tak berbatas. Untuk itulah Tuhan menganugerahkan manusia tengkorak yang keras sebagai pembungkus otak agar rasa penasarannya bisa berkurang. Lalu Tuhan juga memberikan manusia mata, hidung, lidah dan telinga yang letaknya dekat otak tapi berjauhan satu sama lain agar menusia bisa menyaring semua informasi yang dia terima agar tidak baur.” Jawaban Oma Hilda malah membanting Lara, Nikki dan Emir pada sebuah paradoks rumit. Jawaban yang justru memancing pertanyaan baru.

“Lalu bagaimna dengan orang yang cacat, buta misalnya. Bukankah ini berarti informasi yang dia dapat menjadi tidak sempurna?” Nikki mulai terpancing paradoks yang dibuat Oma Hilda.

Oma Hilda tahu akan ada banyak pertanyaan baru. Dia kini berhadapan dengan tiga manusia. Tiga mahkluk yang memiliki rasa penasaran tak terbatas tapi diberikan indra terbatas untuk memahami keadaan.

“Apa kamu tahu ada berapa indra yang dimiliki manusia?”

“Lima Oma.” Kata Nikki cepat.

“Bagus, berarti kamu banyak belajar di kelas. Tapi sebetulnya manusia memiliki lebih dari dua puluh indra.” Mereka bertiga tercengang mendengar jawaban Oma Hilda.

“Rasa lapar, rasa takut, keseimbangan dan naluri juga merupakan indra pada manusia. Selain untuk menerima informasi, indra juga berperan sebagai radar untuk menyelatkan diri. Bayangkan kalau kalian tidak memiliki rasa takut. Berapa banyak orang yang setiap hari mati sia-sia. Dan ingatlah saat Tuhan menghilangkan salah satu indra pada diri manusia, maka Tuhan menguatkan salah satu indra yang lain. Tuhan maha adil.” Oma Hilda meneragkan pelan-pelan dengan harapan Nikki, Lara dan Emir bisa paham.

“Sesempurna itukah Tuhan menciptakan manusia, Oma?” tanya Lara.

“Ya. Tuhan yang maha sempurna, menciptakan manusia dengan hasil yang sempurna. Justru manusia sendirilah yang membuat diri mereka sendiri menjadi tidak sempurna.”

“Maksudnya Oma?” Lara masih bingung dengan penjelasan Oma Hilda.

“Masih banyak manusia yang tidak mau memakai pikiran dan akal budi yang dimilikinya, berusaha berlagak buta dan menutup mata dari derita lingkungan, dan pura-pura tuli pada keadaan. Dari merekalah semua penderitaan manusia berasal. Dari manusia yang melupakan kemanusiaanya. Melarikan diri dari fitrah. Jadilah mereka mahkluk tengah. Manusia setengah manusia.” Oma Hilda menjelaskan dengan perasaan sedikit jijik tentang mahkluk tengah.

Begitupun Lara, Nikki dan Emir. Mereka membayangkan keadaan manusia setengah manusia itu dan menjadi mual. Mereka sekarang menjadi sedikit paham dan enggan meneruskan pertanyaan mereka. Biarlah paradoks ini buntu sementara dan tak pernah memiliki jalan keluar. Mereka ingin menghargai tengkorak pemberian Tuhan agar manusia tidak terlalu terburu-buru dan penasaran.

Bintang di langit masih berkelap-kelip genit berusaha memancing pemikiran manusia yang liar dan memaksa manusia bertanya-tanya tentang banyak hal. Tengah malam di Jakarta saat musim panas memang selalu menyenangkan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U