Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 5

ALAMPUN PESTA PORA

Crash! Crash! Duar...!

Langit malam sontak jadi terang benderang. Daun jendela di kamar Lara bergetar. Angin riuh. Udara bergemuruh. Pucuk pohon mengkudu bergoyang-goyang seperti menyambut tamu agung yang akan datang. Angin dingin menyelinap lewat celah lubang angin, dan hujan pun turun. Awalnya hanya rintik-rintik lalu perlahan-lahan mulai deras. Suara jangkrik di halaman depan bersahutan. Pohon mawar dan melati meliuk-liuk dibuai angin. Suara genting yang terhantam air hujan bergema menghadirkan tetabuhan ritmik yang indah, suaranya beresonansi dari dapur sampai ruang tamu. Alam sedang berpesta pora.

Hujan pertama di awal Oktober setelah kemarau panjang yang gersang. Lara buru-buru keluar, berdiri di taman sambil tengadah ke langit. Oma Hilda yang sejak tadi duduk sambil membaca di ruang tamu tersenyum melihat kelakuan Lara. Tak ada keinginan untuk  menghentikan semua tindakan anak angkat kesayangannya itu. Oma Hilda tahu kalau anak ini berbeda.

Manusia adalah mahkluk yang paling rajin berdoa agar hujan lekas turun karena khawatir ladangnya tandus dan ternaknya kehausan. Manusia gemar mengundang hujan, lalu lari ke dalam rumahnya yang hangat dan nyaman saat hujan datang berebutan. Manusia menjadi tuan rumah yang sinis bagi tamu yang dikirimkan Tuhan. Manusia gemar memanggil dan mengkhianati hujan. Berbeda dengan Lara, dia gembira setiap hujan tiba, lekas-lekas lari ke taman atau tanah lapang dan merayakan pesta bersama rumput, ganggang, kodok dan pohon akasia. Mereka merayakan pesta dengan penuh suka cita.

Setelah badannya menggigil dan bibirnya biru baru Lara masuk dan segera mandi air hangat. Oma Hilda sudah menyiapkan teh panas saat Lara selesai berganti pakaian.

“Kamu merasa puas, Lara?” Oma Hilda bertanya. Lara tidak menjawab, tapi dari bias  mukanya menunjukkan rasa puas yang sangat.

“Kenapa setiap hujan orang-orang malah masuk ke dalam rumah, Oma. Bukankah manusia senang dengan hujan?” Lara bertanya sambil menggenggam gelas berisi teh panas untuk menghangatkan telapak tangannya.

Oma Hilda menaruh bukunya di atas meja. Merapatkan syalnya dan menatap sambil tersenyum ke arah Lara.

“Pertama karena mereka takut sakit, Lara. Kedua manusia adalah mahkluk yang mudah lupa.”

“Maksud Oma?” Lara masih bingung, dia mengancingkan baju hangatnya. Dingin air hujan di taman masih berbekas di tubuhnya.

“Maksud Oma adalah manusia  berusaha agar selalu lupa untuk mengurangi rasa sakitnya.” Lara semakin tidak paham.

“Apa kamu tahu jika manusia dan alam dulunya akrab, saling berbagi dan saling menjaga?” Lara menggeleng.

“Dulu manusia dan alam adalah satu kesatuan, manusia ada untuk menjaga alam. Alampun tercipta untuk melindungi manusia. Manusia dan alam setara. Tapi karena dorongan nafsu dan keserakahannya manusia mulai merasa lebih tinggi, merasa lebih hebat dan merasa memiliki hak untuk jadi penguasa.” Oma Hilda menatap wajah Lara, memastikan anak kesayangannya paham dengan penjelasannya.

“Karena keserakahannya itulah manusia malah menjadi terasing dengan alam. Manusia lupa dengan bahasa asli mereka, manusia tidak bisa bercakap-cakap lagi dengan alam. Padahal alam masih dengan kerendahan hatinya melindungi manusia dan jika akan terjadi bencana senantiasa memberi peringatan. Tapi sayang manusia  tidak paham. Manusia lupa bahasa alam.” Lara mengangguk-ngangguk.

“Bukankah alam juga sering merugikan manusia, Oma? Gunung meletus, longsor dan tsunami sering menelan korban jiwa.” Tanya Lara.

“Bukan, Lara. Justru itu adalah proses penjagaan alam terhadap manusia. Manusia sering merusak dan berlaku semena-mena. Walaupun begitu alam tidak pernah marah. Tapi alam harus menstabilkan kembali keadaannya agar manusia tetap merasa nyaman di dalamnya, walaupun gerakannya kadang menakutkan seperti amarah, padahal itu cinta, bukti kasih sayang alam untuk manusia. Bahkan jauh-jauh hari sebelum alam bergerak menstabilkan diri alam sudah memperingatkan manusia agar tidak ada korban jiwa.”

“Peringatan seperti apa, Oma?” Lara mulai merasa penasaran. Oma Hilda tersenyum.

“Bukan tugas Oma untuk menjelaskan, kamu lebih paham Lara. Karena kamu adalah sedikit manusia yang diberi kemampuan untuk memahami alam. Kamu adalah duta dan juru bicara alam bagi manusia, kamu paham bahasa mereka.” Lara menganga. Menjadi duta dan juru bicara alam bagi manusia terdengar asing bagi telinganya.

“Bagaimana supaya Lara bisa paham Oma?”

“Banyaklah mendekat pada alam, dengarlah dengan hati, jangan jadi serakah dan menyibukan diri dengan ego pribadi. Banyak nyawa yang bisa diselamatkan kalau manusia mau mendengar peringatan alam. Laut sebelum tsunami memberi peringata, gunung sebelum meletus memberi peringatan, tanah sebelum longsor dan air sebelum banjir juga memberi peringatan. Tapi manusia dengan egonya jadi tuli, mereka terlalu sibuk dengan musik, membicarakan kekurangan sahabatnya, berbicara di telepon berjam-jam untuk hal yang kurang diperlukan, padahal alam sudah berteriak-teriak memperingatkan. Manusia alfa dan lupa, jadi bodoh dalam keegoisan.” Oma Hilda mengambil kembali bukunya yang tergeletak di atas meja.

Lana mulai paham. Tapi menjadi juru bicara alam bagi manusia benar-benar hampir tak terpikirkan. Lara mulai merasa demam. Bukan demam karena dingin hujan, tapi demam karena khawatir tak mampu mengemban tugas yang diberikan alam bagi dirinya. Mukanya mulai merah, tubuhnya mulai gemetaran.

Oma Hilda yang sedari tadi memperhatikan merasa mahfum.

“Sekarang kamu habiskan tehmu sebelum dingin. Lalu lekaslah pergi tidur. Tutup jendela kamar dan jangan lupa pakai selimut.” Lara mengangguk lalu segera menghabiskan tehnya. Mencuci gelasnya di dapur dan pergi ke kamarnya.

Oma Hilda meneruskan membaca, tapi pikirannya tidak sepenuhnya ada pada buku yang digenggamnya, pikirannya ada di tempat lain. Masih banyak tugas yang harus dia emban untuk anak angkat kesayangannya ini. Hujan di luar semakin deras. Kodok dan jangkrik semakin riuh bernyanyi. Pesta alam semakin meriah. Oma hilda bangkit dan berjalan  menuju pintu, dia buka lebar-lebar. Dia tersenyum menyaksikan pesta alam yang yang sedang berlangsung, tapi sebagian hatinya sedih dan malu karena banyak manusia justru malah menarik diri dalam sepi dalam hingar bingar pesta alam semeriah dan seindah ini.

(based on, Incubus: Warning)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s