Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 1

LIFE IS AUTOMATIC

Bagi Lara hidup adalah sebuah perjalanan, bukan lagi sebuah pertanyaan seperti yang kebanyakan orang rasakan. Bagi dia hidup itu otomatis. Ya, hidup itu bersifat sangat otomatis, saat kita akan terlahir ke dunia kita tidak akan pernah bisa memilih lahir dengan orang tua yang mana, kita tidak bisa menentukan jenis kelamin kita, warna kulit kita, di mana kita dilahirkan, atau bahkan kepercayaan apa yang akan kita peluk saat pertama terlahir ke dunia. Hidup itu sangat otomatis, dengan kekuatan otomatis dari Dia Yang Maha Otomatis.

Namanya Lara, dia adalah salah satu hasil dari ‘otomatis’ itu, dia  tidak pernah tahu siapa orang tuanya, atau terlahir di mana. Bahkan dia tidak pernah yakin kalau dia pernah dilahirkan, mungkin dia terlahir dalam keadaan pingsan sehingga dia tidak pernah ingat apapun yang berhubungan dengan kelahirannya atau pun tentang keluarganya.

Ingatan terbaiknya tentang peristiwa kelahirannya hanyalah sebuah kardus, kain  kumal dan secarik kertas yang bertuliskan ‘TOLONG JAGA ANAK INI’. Tidak jauh berbeda dengan orang lain kebanyakan yang mendapatkan ranjang empuknya saat mereka lahir, kardus itulah ranjang empuknya, yang tetap memberikannya kehangatan dalam malam hujan saat Oma Hilda menemukannya di depan pintunya.

Dia berani bertaruh, hal terbaik yang bisa didapatkan seorang bayi saat lahir pasti pelukan ibunya, diapun mendapatkannya dari kain kumal yang membungkus tubuhnya, setidaknya kain itulah yang melindunginya dari dinginnya hujan pada malam 26 Desember itu, kain itu memeluknya erat, memberikannya kehangatan, memberikannya harapan untuk hidup sedikit lebih lama.

Dan yang paling dia banggakan dari semuanya adalah secarik kertas yang bertuliskan   ‘TOLONG JAGA ANAK INI’, bayi lain umumnya mendapatkan sebuah catatan akta kelahiran saat mereka lahir, surat angkuh yang menyatakan suatu kepemilikan atas seorang anak manusia, mereka akan diakui sebagai anak si anu atau si anu, lahir pada tanggal tertentu, dan kewarganegaraannya akan dibatasi hanya di negara di mana mereka lahir. Sedangkan dia, hanya ada sebuah pesan ‘TOLONG JAGA ANAK INI’, dan ini berlaku untuk semua  mahkluk hidup yang ada di dunia ini, ‘TOLONG JAGA ANAK INI’ adalah sebuah kalimat yang berisi harapan, permohonan, dan sekaligus ancaman agar siapapun yang menerima surat tersebut menjaga dan merawat seorang anak yang belum lama lahir yang tergeletak dalam sebuah kardus dan diselimuti sepotong kain kumal pada malam hujan di bulan Desember, dan Lara bangga, dia bukanlah seorang anak yang di monopoli oleh sebuah sistem kekerabatan ataupun sebuah sistem ketatanegaraaan, dia adalah anak semesta, seorang anak yang lahir dari seorang ibu entah berantah dan Tuhan menitipkan dia ke seorang wanita miskin penuh kasih bernama Oma Hilda, setelah sebelumya Tuhan memberikan ancaman dan pesan ‘TOLONG JAGA ANAK INI’.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U