Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 3

BAJAJ MILENIUM

Mereka bertiga duduk membentuk formasi seperti huruf V, berhadap-hadapan di pojok taman yang sedikit terlindung dari panas matahari. Di bawah bayangan pohon akasia tua mereka selalu menghabiskan sore sambil berhadap-hadapan dengan segelas kopi hitam kental, sebotol air mineral dan secangkir teh. Kopi hitam untuk Nikki, air mineral untuk Emir dan teh untuk Lara.

Nikki dan Emir seperti sebuah magnet besar. Kutub mereka berlawanan. Nikki berada di kutub negatif. Dia liar, selalu menantang-nantang dan menertawakan kehidupan. Baginya hidup seperti permainan, mainkan sampai tuntas, sampai puas tanpa ada aturan. Dia adalah sumber dari segala tawa dalam komunitas segitiga mereka. Sedangkan Emir seperti Santo dari zaman modern, pembawaannya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya hampir selalu wejangan. Dia tidak akan berbicara kalau merasa tidak perlu. Bagi dia semua perkataan dan tindakan harus ada pertanggung jawaban. Emir berada di kutub positif, dia menyerap semua negativitas dalam kehidupan.

Nikki selalu mencemooh Emir sebagai lelaki yang kurang jantan, kurang berani menghadapi tantangan, selalu cari aman, tapi toh Emir tak pernah marah. Semakin banyak Nikki mencemoohnya semakin Emir merasa bahagia. Begitu juga dengan Nikki, semakin banyak dia mengejek Emir semakin puas dia dibuatnya. Mereka merasa sampai pada satu titik tertentu nantinya tarik menarik antara kutub positif dan negatif ini akan selesai. Aura liar Nikki akan terjinakkan, dan keapatisan Emir akan sedikit tergoyahkan. Mereka yakin suatu saat nanti mereka akan seimbang, akan berhenti tarik menarik dan mulai menemukan kesetimbangan sempurna. Mereka seperti membenci satu sama lain tapi dengan alasan tertentu tak mampu terpisahkan.  Sedangkan Lara adalah penengah di antara mereka.

Saat bertiga mereka jadi atom. Lara dan Emir berada di inti sebagai neutron dan proton, sumber yang statis dan menenangkan sedangkan Nikki terus berlari-lari liar mengelilingi mereka laksana elektron. Tapi mereka harus seperti itu. Jika salah satu dari mereka hilang atau berhenti bergerak maka kolapslah semua keteraturan, semesta mereka chaos jika mereka dipisahkan. Mereka seperti bajaj milenium. Beroda tiga, gerakannya liar, terseok-seok, berisik dan terlihat kelelahan, tapi jangan coba-coba dengan mereka karena asap racun yang mereka keluarkan bisa begitu mematikan.

Bagi Nikki dan Emir, Lara seperti adik kecil yang harus mereka lindungi. Lara seperti patung porselen mahal yang berharga dan mengkilat tapi retas dan mudah pecah. Larapun menyayangi Emir dan Nikki seperti kakak sendiri. Masing-masing siap pasang badan kalau ada yang berniat menyakiti. Mereka adalah The Impossible Triangle yang tercipta dari getah dan baja. Lengket, liat dan keras. Mereka hampir tak terpisahkan. Mereka berbeda dalam perbedaan yang menyatukan. Bajaj milenium yang siap mengangkut beban-beban berat melewati jalan becek dan berlubang yang disediakan kehidupan.

Komentar

Syaiha mengatakan…
Analogi atomnya saya suka.. Kebetulan saya memang anak kimia, pernah juara olimpiade kimia dulu.. Jadi ngerti tulisan ini..

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...