Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 9

DAN SEMUA LUMER DI HADAPAN CINTA

Kalau ada hal yang harus manusia percayai selain Tuhan, itu adalah ketidakpastian. Tuhan yang infinit dan tidak terdefinisi adalah hal yang tak terbantahkan. Tuhan abadi dan kekal sebagaimana ketidakpastian. Ketidakpastian dihadirkan Tuhan dalam kehidupan sebagai bukti akan sifat ketuhanan itu sendiri, untuk menunjukkan bahwa manusia hidup dalam semesta tiga dimensi yang serba fana dan selalu menggenggam ilusi, cara satu-satunya untuk berpegang kukuh pada ilusi itu adalah dengan menggenggam yang Maha Multi Dimensi, yaitu Tuhan itu sendiri.

Seperti Emir sang santo milenium, dia adalah bukti nyata dari ketidak pastian. Di balik sifatnya yang serba terukur dan tenang, diam-diam dia memendam gejolak samudera yang menggelora dalam hatinya. Beberapa hari ini dia tidak bisa tidur, setiap memejamkan mata dia merasa terteror, bayangan Amelia yang sedang megap-megap sekarat selalu menghantuinya. Dia benci rumah sakit, benci warna putihnya, benci aromanya yang selalu berbau karbol dan benci karena dia tidak bisa hadir di hadapan Amelia saat menjelang ajalnya. Dia sadar betul waktunya dengan Amelia tidak akan lama, tapi ada kekuatan besar yang menahannya untuk tidak bertemu Amelia. Kekuatan besar yang menyiksanya. Rasa takut kehilangan Amelia.

Hampir setiap sore Amir melawan rasa bencinya, dia datang ke rumah sakit, menunggu keluarga Amelia pulang lalu mengendap-mengendap menuju kamar di mana Amelia dirawat, hanya untuk memastikan Amelia masih ada di sana. Tertidur dengan tabung oksigen di sampingnya. Amelia didiagnosa mengidap penyakit paru-paru parah. Sejak tiga tahun lalu Amelia tidak disarankan tinggal di Jakarta mengingat kadar polusinya yang parah. Tapi Amelia tetap bersikeras melanjutkan study-nya di Jakarta. Alasannya jelas, agar sering bertemu Emir. Tapi Emir tak pernah tahu. Ameliapun tak pernah tahu kalau Emir menyimpan bara dalam hatinya. Bagi cinta mereka terlihat bodoh, main petak umpat dalam ruang cinta yang sangat luas.

Lara dan Nikki yang sadar permainan mereka merasa tergelitik sekaligus kasihan. Terlebih Nikki, dia merasa geregetan melihat sikap Emir dan Amelia. Sampai kapanpun kalau mereka tak pernah mau terbuka mereka akan semakin tersesat dalam labirin yang gelap.

Sore itu Nikki, Lara dan Oma Hilda memutuskan untuk menjenguk Amelia di rumah sakit. Berdasarkan keterangan dari keluarga Amelia, kadaan Amelia sudah sedikit lebih baik, tapi selama Amelia ada di Jakarta keadaan itu tak akan bisa berlangsung lama. Lara sudah berusaha menelepon Emir, tapi tidak diangkat. Lara mengirim SMS tapi tidak ada jawaban. Nikki menjemput Emir, tapi Emir tidak ada di rumah. Mendadak Emir seperti orang asing. Emir menghilang ditelan bumi.

Lara yang baru tiba di rumah sakit disambut keluarga Amelia dengan suka cita. Amelia sedang duduk di atas ranjang pasien sambil disuapi bubur. Tubuhnya sudah sedikit lebih segar, tapi wajahnya masih terlihat pucat. Dia tersenyum saat melihat Lara, Nikki dan Oma Hilda masuk ke dalam ruang rawatnya. Oma Hilda mencium kening dan membelai rambut Amelia. Lalu menanyakan keadaannya.

Amelia menjawab pertanyaan Amelia dengan nafas masih megap-megap, kadang-kadang dia menempelkan masker oksigen yang selalu ada dalam genggamannya, dia segar tapi keadaannya masih mengkhawatirkan.

“Lihat ini, Nikki” kata Oma Hilda sambil menengok ke arah Nikki. “Kamu jangan terlalu banyak merokok, sayangi paru-paru kamu.” Nikki meringis sambil membuang pandangannya ke arah jendela.

“Dua hari lagi Amelia akan kami bawa ke Malang. Di sana udaranya masih bersih. Semoga kesehatan Amelia bisa cepat pulih di sana.” Ayah Amelia bercerita.

Amelia diam saja, dia sudah pasrah dan harus mengakui kekalahannya. Cintanya rontok dihantam udara beracun Jakarta yang bersekongkol dengan paru-parunya yang lemah, dan Emir yang dia harapkan malah tak kunjung datang.

Oma Hilda mengangguk, Lara dan Nikki hanya menunjukkan wajah datar. Mereka tahu rencana kepindahan Amelia ke Malang akan jadi pukulan berat bagi Emir, tapi mereka tidak bisa apa-apa.

Setelah berbasa-basi sebentar Oma Hilda, Nikki dan Lara memutuskan untuk pulang, tapi tiba-tiba saat mereka hendak keluar Emir datang dengan langkah tergesa-gesa. Dia menyerah dengan permainan petak umpatnya. Amelia melihat Emir datang, wajahnya bersemu merah, darah mengalir deras, nafasnya yang semula pengap mendadak lega. Amelia bisa melihat mataharinya. Permainan petak umpat ini berakhir sudah.

Keluarga Amelia tahu ada sesuatu dengan anak ini. Keluarga Amelia, Lara dan Oma Hilda ingin memberikan waktu bagi mereka. Mereka keluar, hanya Nikki yang masih mematung di sudut ruangan. Amelia berusaha menegakkan duduknya,Emir bergegas membantunya.

Nikki masih tetap mematung di sudut ruangan. Ruangan yang luas ini tiba-tiba terasa sesak baginya. Cinta ada di mana-mana, mengisi setiap sudut dan sel udara. Ada sesuatu yang menampar hatinya. Mau sampai kapan jadi bunglon?

Emir sedah mengalah dan membalik kutubnya, kini Nikki dan Emir berada dalam kutub yang sama, chaos tercipta. Mereka tolak menolak dengan kuat. Nikki mundur dan berusaha mengalah. Tak ada gunanya melawan cinta. Dia keluar dengan nafas sesak dan mata merah. Dua kutub itu kembali seimbang. Tak ada yang bisa mengalahkan cinta. Semua lumer di hadapannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U