Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 10

ANNA MOLLY, ANOMALI, UNNORMALLY

Manusia paling sial yang berdiri di bawah sinar matahari adalah para penyair. Mereka para penangkap esensi, bagi mereka kesedihan dan kebahagiaan adalah sama. Jika saat sedih kita menangis, maka saat bahagia kita tertawa. Tertawalah terus... terus... sampai pelan-pelan kita tidak sadar pipi berlelehan air mata. Air mata keluar dari sumber yang sama. Kebahagiaan dan kesedihan adalah setara.

Sedangkan manusia paling bahagia adalah orang yang bebal, manusia yang merasa masa bodoh pada tatanan. Bagi mereka menaati aturan yang dibuat oleh manusia berarti murtad pada norma spiritual. Itu berarti mengkhianati diri sendiri dan memisahkan diri dari arak-arakan pawai kemanusiaan. Mereka inilah golongan bohemian.

Anna termasuk golongan yang kedua. Nama lengkapnya Anna Molly, dia teman dekat Nikki. Menyebut namanya saja kita seperti mengeja sebuah kata ‘anomali’ pusat dari segala absurditas. Dia seorang bohemian sejati, tapi jangan samakan dia dengan hippie, dia menolak mentato diri, menentang tindik, minum alkohol, apalagi bergaul dengan klenik.

Dia manusia merdeka yang berdiri sepenuhnya di atas citra spiritual manusia secara utuh. Dia benci politik, memandang demokrasi sebagai ideolagi rendahan. Dia bergaul erat dengan seni, tapi tak ingin menceburkan diri secara sia-sia dengan bercakap-cakap sampai mulut berbusa-busa dengan golongan imbisil yang dia cap sebagai politisi.

Seperti biasa setiap pagi Nikki bertemu dia di depan pasar. Saat dia datang puluhan kucing seperti mendapat komando gaib untuk menyambutnya. Berbondong-bondong sambil mengeong-ngeong seolah-olah mengelu-elukan namanya.

Tak pernah lupa Anna selalu menyiapkan berbungkus-bungkus nasi dan ikan. Dia mengedarkan dan menunggu sampai semua kucing selesai makan, lalu merapikan kembali bungkusnya dan membuangnya ke tempat sampah.

“Halo, Anna” kata Nikki menyapa sambil membantu Anna merapikan bungkus nasi di jalan.

“Hai, Nikki” jawab Anna dengan ramah.

“Kenapa kamu mau repot-repot setiap pagi memberi makan kucing jalanan seperti ini?” tanya Nikki heran.

Anna tersenyum.

“Bukankah ini tugas kita sebagai manusia, Nikki. Lupakanlah dulu tugas yang besar dan berat, masih banyak tugas kecil yang jadi kewajiban manusia tapi kadang kita lupakan. Memberi makan kucing jalanan sebagai contohnya.”

“Kenapa kamu tidak mencoba untuk membantu manusia lain yang sedang kesusahan atau terkena penyakit, bukankah itu jauh ebih bermakna?”

“Ribuan orang sudah melakukannya. Bunda Theressa sudah memulai usaha itu puluhan tahun lalu. Kita coba dengan melakukan hal kecil di sekitar kita dulu.” Kata Anna sambil melangkahkan kakinya memasuki pasar. Nikki mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Anna.

Anna berhenti di depan seorang tukang sayur. Dia mengambil sepuluh ikan bayam yang ada di tumpukan paling bawah. Bayamnya sudah layu, beberapa helai daun bahkan berlubang seperti bekas digigit ulat. Nikki mencoba mencegahnya. Tapi Anna berkeras tetap mengambil dan segera membayarnya.

“Apa kamu tidak melihat kalau bayam yang kamu beli barusan sudah layu dan banyak bekas gigitan ulat?” tanya Nikki merasa penasaran dengan tindakan Anna.

“Justru karena itulah alasannya. Bayam layu ini bukan berarti beracunkan? Coba kamu bayangkan jika setiap pedagang sayur menyisakan sepuluh ikan bayam layu karena tak ada yang mau membeli, berapa ribu ikat bayam yang akan terbuang sia-sia dalam satu hari! Dan lubang ini...” kataAnna sambil menunjuk pada daun bayam yang bolong “Ini berarti daun ini sehat dan bebas racun pestisida. Ulat saja berani memakannya. Ulat adalah salah satu pertanda alam yang menerangkan kalau daun bayam ini sehat dan menyehatkan.” Anna berjalan perlahan ke luar pasar.

Nikki tidak habis pikir dengan semua tindakan Anna yang menurutnya aneh.

“Kenapa kebanyakan orang justru suka daun bayam yang segar dan sempurna?” Nikki tidak bisa membendung rasa penasarannya.

“Karena itulah yang ditanamkan dalam otak manusia selama ini. Mereka diajarkan untuk mempercayai kalau segar berarti sehat, warna cerah berarti indah, memiliki banyak materi berarti bahagia sampai mereka lupa jika kebahagiaan itu hadir bukan saat kita memiliki materi yang banyak, tapi saat kita memberikan materi yang kita miliki pada saat dan tempat yang tepat.” Anna menerangkan.

“Berarti semua paradigma yang dipercaya kebanyakan manusia saat ini bergerak ke arah yang salah?” tanya Nikki lagi.

Anna menghentikan langkahnya.

“Bukan seperti itu, kita tidak punya hak untuk memvonis sesuatu salah atau benar selama tolak ukur kita adalah pandangan manusia sendiri yang selalu subjektif. Manusia selalu berada di daerah abu-abu, Nikki. Tugas kita sekali lagi hanyalah melakukan kewajiban kita sebagaimana seharusnya manusia.” Anna meneruskan langkahnya. Hari sudah semakin siang. Kulit Anna yang putih terang semakin bercahaya terkena sepuh matahari pagi yang selalu magis. Nikki termenung sambil tetap mengikuti langkah Anna.

Di ujung pasar ada seorang gadis kecil penjual bunga yang berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Suaranya parau berusaha menyaingi suara pasar yang riuh dengan tawar menawar. Anna mempercepat langkahnya menuju gadis penjual bunga itu.

“Ibu kamu kemana?” Anna bertanya pada gadis kecil penjual bunga.

Gadis itu mendongak, mencoba mengenali wajah Anna.

“Ibu sakit, Kak. Sejak tadi malam tubuhnya demam.” Anak itu bercerita sambil meringis membayangkan keadaan ibunya.

“Ibu kamu sudah dibawa berobat ke dokter?” Anna mencoba memastikan. Gadis itu menggeleng.

“Berapa harga satu tangkainya?”

“Delapan ribu, Kak.”

“Semuanya ada berapa tangkai?”

“Ada tiga puluh dua tangkai, Kak.”

Anna membuka dompetnya, mengeluarkan uang empat ratus ribu rupiah dan menyerahkannya pada gadis kecil itu.

“Kakak beli semua.”

Gadis kecil itu ternganga, termasuk Nikki. Dia tidak menyangka Anna akan berlaku sejauh itu.

“Nikki, tolong bantu saya!”  Dia membagi bunga itu menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk Nikki, satu bagian untuk gadis kecil, dan satu bagian lagi untuk dia sendiri.

“Sekarang kita bagikan bunga ini ke pada orang yang lewat” Anna mengomando dengan penuh semangat. Nikki dan gadis kecil itu sama-sama kaget tapi tak bisa menolak. Tidak sampai sepuluh menit bunga itu habis dibagikan.

“Sekarang kamu pulang, bawa ibu kamu ke dokter dan jaga dia.” Anna berkata sambil menatap ke dalam mata gadis kecil itu. Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum gembira.

“Ayo, Nikki.” Kata Anna sambil meneruskan langkahnya lagi menuju seorang pedagang bajigur di tepi jalan. Nikki hanya mengikuti saja.

“Kenapa semudah itu, Anna?” tanya Nikki saat mereka menikmati bajigur dan ubi rebus.

“Maksudnya?” tanya Anna kurang paham dengan pertanyaan Nikki.

“Kamu terlalu banyak memberi sepanjang pagi ini.” Nikki menjelaskan.

“Karena disitulah letak kebahagiaan, Nikki. Semakin banyak kamu memberi semakin kamu bahagia, semakin banyak kamu memberi semakin banyak juga kamu mendapatkan. Bukankah itu sudah jadi hukum alam? You can't get what you give if you don't give what you get." kata Anna menerangkan.

Nikki termenung. Pagi ini pagi yang aneh dan terlalu berat bagi dia. Setelah ini dia berencana pulang saja dan meneruskan tidurnya yang kurang lengkap tadi malam. Beberapa jam pagi ini terlalu melelahkan bagi dia. Manusia normal seperti dia sangat sulit masuk ke dalam cara pikir Anna yang serba absurd. Anna Molly yang serba anomali. Anna Molly yang unnormally.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s