Langsung ke konten utama

BALADA LARA - PART 4

MANUSIA-MANUSIA GELISAH

Selayaknya adat metropolitan, sabtu malam adalah ajang pembuktian eksistensi. Bagi sebagian remaja mengurung diri pada sabtu malam berarti otomatis tersingkir dari pergaulan.
Bagi Nikki, Lara dan Emir adat seperti itu adalah persetan. Apa istimewanya sabtu malam? Menurut pandangan mereka, orang yang berpendapat sabtu malam adalah pembuktian eksistensi pergaulan berarti mereka sudah teralienasi di detik pertama mereka mempercayai pemikiran itu dalam hati. Sehebat-hebatnya mereka cuma jadi laron, berkerumun di sumber cahaya, Mall, pasar malam atau konser gratisan dan yang menyedihkan akan jadi cacing, mengkerut dan kedinginan dalam gedung bioskop gelap atau pekak dan terjebak dalam hingar bingar klab malam.

Lara, Nikki dan Emir sedang berkumpul. Mereka bertiga duduk di atas balkon rumah Lara. Oma Hilda sedang sibuk di dapur menyiapkan makanan rutin setiap sabtu malam, satu loyang croisant dan satu teko teh panas.

Nikki sedari tadi sibuk mondar-mandir. Lara dan Emir cuma memperhatikan.

“Ada yang kamu pikirkan, Nik?” Lara mulai penasaran dengan kelakuan temannya itu.
Nikki menggelengkan kepalanya, “Bukan aku, tapi mereka.” Nikki menunjuk ke arah alun-alun di pusat kota.

“Kenapa dengan mereka? “

“Maksudku, apa yang sebenarnya mereka pikirkan?” Nikki duduk dan menatap wajah Lara dan Emir dengan tatapan serius. Emir tetap tenang.

“Bukankah normal kalau remaja menghabiskan sabtu malam dengan menceburkan diri dalam kerumunan? Mencoba berbaur dengan keadaan agar tidak asing dalam pergaulan,” kata Lara dengan nada diplomatis.

“Lalu apa tujuannya?” Nikki masih merasa kurang puas.

“Itu trend, Nik.” Emir mencoba membuka suara.

“Siapa yang menciptakan trend?” tanya Nikki lagi masih kurang puas.

Semua diam, tak ada yang bisa memberi jawaban.

Oma Hilda muncul di pintu, Lara lekas bangun menyambut loyang dari tangan Oma Hilda dan menaruhnya di atas meja. Oma Hilda ikut duduk. Emir menuangkan teh ke dalam gelas mereka. Oma Hilda bisa membaca keadaan.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” kata Oma Hilda dengan suara yang menenangkan. Lara dan Emir menatap Nikki. Nikki pura-pura mengambil gelas, dia ragu untuk memulai pembicaraan. Ada sesuatu dengan Oma Hilda, dia selalu merasa hormat dan segan pada wanita ini. Wanita yang sudah dia anggap seperti ibu kedua baginya.

“Kami sedang membicarakan tentang trend Oma,” kata Nikki pelan. Gelas yang semula dia pegang dia letakkan lagi di atas meja.

“Ada apa dengan trend?” Oma Hilda mengambil gelas dan menaruh dua blok gula.

“Kami bingung Oma, siapa sebenarnya yang menciptakan trend? Dan apa tujuannya?”

Oma Hilda menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, lalu pelan-pelan mengaduk teh dalam cangkir.

“Yang menciptakan trend adalah manusia, tapi bukan hasil dari buah pikirnya.” Oma Hilda mulai menerangkan.

“Lalu dari apa, Oma?” Lara mulai penasaran.

“Dari rasa takut manusia yang terkumpul secara kolektif, dari situ lahirlah trend.”

Emir masih bingung, “Lalu apa yang dihasilkan dari buah pikir manusia, Oma?”

“Budaya. Coba kamu perhatikan, lebih kekal mana antara trend dan budaya?”

“Budaya.” Lara, Nikki dan Emir berbicara hampir serentak. Oma Hilda tersenyum.

“Kalian benar. Sesuatu yang timbul dari rasa takut, walaupun itu bersifat kolektif tak akan pernah bertahan lama. Trend saling berbantahan dari masa ke masa. Model rambut, gaya berpakaian terus menerus berubah, dan setiap masa sepertinya mereka tak pernah akur, saling berbantahan. Tiga puluh tahun lalu pria berambut panjang adalah lambang kejantanan, sekarang pria berambut panjang disinonimkan dengan pria urakan, norak dan tak tahu aturan, walaupun sebetulnya tidak selalu benar, lagi-lagi karena trend hanyalah residu dari rasa takut bukan dari hasil pemikiran.” Oma Hilda meminum tehnya.

“Kalian tahu apa yang paling ditakutkan manusia?” pertanyaan Oma Hilda pelan namun dalam, seolah-olah pertanyaan itu sindiran yang mengingatkan. Tak ada yang berani buka suara. Takut terjebak dengan jawaban usang yang diplomatis dan materialistis.

“Ketakutan manusia terbesar adalah saat manusia membelakangi matahari tapi mereka tak menemukan bayangan mereka di sana.” Mereka bertiga menganga mendengar jawaban Oma, tapi tak ada yang berani bertanya apalagi membantah.

Oma Hilda tersenyum, lalu meneruskan penjelasannya.

“Saat manusia tidak menemukan bayangannya mereka akan mulai bertanya-tanya tentang eksistensinya di dunia, tapi percuma karena jawaban sebenarnya hanya bisa mereka temukan lewat kontemplasi dan perenungan. Tapi manusia modern ini nampaknya terlalu sibuk, mereka panik dan mencari jawaban dari luar diri mereka, mereka terjebak dalam jawaban-jawaban fana, mereka cuma menggenggam ilusi lalu mulai berkelompok dan mengkonfrontir diri dengan lingkungan yang justru malah menciptakan kecemasan dan kekhawatiran baru. Kekhawatiran ini mereka infeksikan ke lingkungan sekitar mereka, lalu terciptalah trend, kumpulan manusia-manusia gelisah yang berharap menemukan kedamaian dalam kumpulan.” Oma Hilda mengambil sepotong croisant dan mencelupkan ujungnya ke dalam teh.

Lara, Nikki dan Emir hanya bisa diam, mereka berfantasi dengan analogi masing-masing dalam kepala mereka. Mereka juga terjebak dalam sebuah kecemasan, apakah mereka tergolong dalam manusia yang tak bisa menemukan bayangan saat membelakangi matahari? Tapi mereka sadar, seandainya mereka memang termasuk golongan itu setidaknya mereka tak akan pernah menginfeksikan kecemasan mereka ke orang-orang terdekat mereka.

Croisant di atas nampan tinggal  remah-remah, teh sudah mulai dingin. Tapi jiwa mereka berempat terasa penuh, hati mereka hangat. Bukan karena teh dan croisant. Tapi berbagi ilmu dan pengalaman itulah bara penghangat hati dan hidangan untuk jiwa.

Komentar

Syaiha mengatakan…
Ini lebih hidup, ada percakapan dan gerak fisik tokohnya..

Lanjutkan mas..

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s