Belakangan ini sulit sekali rasanya menghasilkan tulisan, menciptakan karya. Berjilid-jilid buku habis dibaca, berpuluh film tandas ditonton, tujuannya mencari inspirasi. Tapi apa mau dikata, otak saya tetap buntu, jari-jari saya masih saja lumpuh, imajinasi saya impoten, pun tidak satu kata yang berhasil ditulis, dan kalaupun ada yang berhasil tertulis tetap saja tanpa rasa. Hampa, tulisan tanpa makna.
Kata orang saya kurang awas, tidak peka, terlalu sibuk pada hal yang besar-besar sehingga hal-hal kecil luput dari pengawasan. Saya terlalu tenggelam dengan dunia saya sendiri, asyik mencari definisi sampai alfa untuk menggenggam hikmah dari semua peristiwa. Jadilah saya penulis yang pandir, imbisil, penulis yang menulis di awang-awang.
Kata seorang sahabat sudah saatnya saya berhenti bersembunyi, selalu menyenangkan bersembunyi dari orang banyak, bisa melihat apa yang mereka lakukan tanpa ketahuan, tapi sampai kapan? Saking lamanya saya bersembunyi dari dunia sampai saya tidak sadar kalau saya sudah bersembunyi dari diri saya sendiri. Jadilah saya seorang pembohong dengan tanpa seorangpun yang pernah saya bohongi selain diri saya sendiri.
Sedih? Jelas! Marah? Tentu saja! Menyerah? Nanti dulu! Sampai detik ini saya masih percaya bahwa tak ada satu hal pun yang sia-sia jika kita terus mencoba. Lagi-lagi berjilid-jilid buku dan puluhan film yang jadi pelampiasan saya. Hasilnya.....? Hmmmm.... Saya tetap tidak mendapatkan inspirasu untuk saya tulis. Seolah diri saya dan insirasi dan saya adalah dua buah kutub yang sama: saling tolak menolak dan selalu menjauh.
Sedih? Jelas! Marah? Tentu saja! Menyerah? Nanti dulu! Di saat-saat genting seperti ini saya selalu teringat seorang sahabat saya. Dia, secara keseluruhan adalah anak-anak yang bertubuh dewasa atau sebuah jiwa anak-anak yang terpenjara dalam sebuah tubuh orang dewasa. Justru ini yang saya suka, orang seperti ini selalu memandang segala hal dari sisi yang berbeda, tak pernah fragmatis. Matanya adalah seratus persen mata anak-anak yang memandang dunia secara global, tulus, tanpa prasangka. Bagi dia dunia ini selalu berwarna atau minimal selalu abu-abu, tak pernah ada hitam atau putih yang dominan.
Dengan rokok yang masih terselip di sela jari enteng saja dia menuduh saya macam-macam, orang bodoh lah, penulis amatiran. Saya hanya manggut-manggut mengaku memang demikian, bahkan sebagian besar kata-katanya saya aminkan. Dia bilang saya itu terlalu sibuk dengan hal-hal besar yang justru tidak besar. Kalau mau menggarap roman yang luar biasa saya harus menunggu kapal Titanic 2 tenggelam atau menunggu badai matahari super menyerang, barulah saya bisa membuat roman, saat manusia terpelanting lagi ke zaman batu karena ketiadaan listrik.
Dia lalu bercerita betapa banyak cerita yang dibuat dari hal-hal sederhana, daun yang gugur misalnya, atau sendal jepit yang hilang di mesjid yang bisa menuntun seorang pemuda menuju cinta sejatinya. Sesederhana itu saja, tak ada yang meledak-ledak, tak perlu bikin cerita yang bikin orang berkerut-kerut kening.
Dan yang terpenting, robohkanlah sekat-sekat yang mambatasi kamu dan inspirasi. Jangan pernah menunggu inspirasi datang mengetuk pintu. Biarkanlah inspirasi datang kapan pun dia mau.
Semenjak pertemuan itu saya bersumpah....
Bersumpah kalau sayabtak akan pernah menemui dia lagi....
#ODOP DAY 6
Komentar
Jangan bersumoah untuk tidak lagi membaca komen saya ya..hahahha.
Selain daripada itu, as always as usual (apasih)keren!
Saya tetap menyarankan mas Ahmad memperpanjang tulisan Dan pengirimnya ke redaksi.
Saya dan inspirasi