Langsung ke konten utama

EDWIN

Jakarta awal Januari. Hujan rintik-rintik sudah turun sejak sore tadi. Waktu bergulir lambat, hawa malas meruap dari tiap sudut cafe ini. Kulirik jam tangan, pukul delapan lewat dua puluh menit. Berarti kamu sudah terlambat lima puluh menit dari waktu yang sudah kamu janjikan tadi siang. Herannya aku masih saja rela menunggu, padahal dalam cuaca seperti ini betapa nyamannya berada di rumah, menonton televisi sambil minum teh manis hangat. Jarum ja di pergelangan tanganku terus bergerak dengan tempo yang lambat. Malam ini seolah waktu begitu lengket, sulit sekali menjadi cair dan mengalir seperti hari-hari biasa, mungkin efek hujan sejak sore tadi. Hampir saja aku bangun saat aku melirik jarum jam di pergelangan tanganku sudah hampir menunjuk pukul setengah sembilan.

"Hei...!" Tiba-tiba sapaan dari suara yang hampir aku lupa itu muncul dari arah belakang.

Aku menengok, dan senyummu yang selama hampir dua belas tahun ini aku rindu hadir, tidak berubah sedikitpun, tetap mempesona ditimpali lesung pipitmu yang indah.

"Sudah lama menunggu, ya?" tanyamu yang segera kamu ralat dengan permintaan maaf karena menyadari ada dua gelas kopi yang sudah habis dan tumpukan puntung rokok di mejaku.

Setelah memesan oca kesukaanmu kita mulai terlibat percakapan ringan, tentang masa-masa sekolah kita, sahabat lama, berapa banyak kota yang sudah kita jelajahi dan saat obrolan kita menyinggung tentang mantan pacar tiba-tiba saja kita menjadi canggung, seolah ada jarak yang tercipta secara tiba-tiba. Dinding penghalang itu tercipta secara tiba-tiba tanpa mampu kita cegah, kita terjebak situasi yang selama hampir dua belas tahun ini berusaha kita hindari.

"Bagaimana kabar Rino?" Kataku dengan nada canggung.

"Dia... Mmmm... Baik-baik saja.... Maksudku...."

"Apa kalian masih berhubungan?" Sekalian saja aku tanyakan, agar rasa penasaranku selama ini terjawab.

Tiba-tiba kamu mendongak, menatap ke dalam mataku dengan pandagan yang tak pernah aku temui sebelumnya.

"Maaf," kataku lagi. "Aku tak bermaksud mengungkit masa lalumu, tapi berdasarka kabar yang pernah aku terima katanya kamu dan Rino pernah menikah."

Kamu tidak langsung menjawab. Dengan gerakan yang canggung kamu memutar-mutar sendok dalam gelas yag sudah kosong.

Ada keheningan beberapa jenak dalam dalam obrolan kita. Keheningan yang bagiku begitu menyiksa. Aku khawatir pertanyaanku barusan menyakiti perasaanmu.

"Pernah hampir..." Katamu dengan nada yang sedikit tertahan.

"Maaf..?" Tanyaku coba memastikan.

"Pernah hampir menikah.... Aku dan Rino pernah hampir menikah"

Aku meràpatkan dudukku ke sandaran. Berbagai bentuk pikiran masuk berebutan ke dalam kepalaku. Di satu sisi aku merasa bahagia karena aku kenal betul siapa Rino, dan tentunya aku masih punya kesempatan, tapi di sisi lain aku juga merasa ini tidak adil untuk gadis yang sekarang duduk di hadapanku dengan mata sembab. Aku tahu benar betapa gadis ini mencintai Rino luar dalam, memuja-muja Rino setengah mati, dan gadis ini juga tahu benar kalau aku mencintai dia luar dalam, memuja-muja dia setengah mati.

Keheningan di antara kami tercipta lagi, bahkan kecanggungan semakin menjdi-jadi.

Lalu tiba-tiba saja, tanpa di duga air mata gadis ini tumpah. Aku semakin merasa menyesal. Dengan gaya bak seorang gentleman aku menyodorinya tisu. Di detik ini aku tak berani buka suara, sepertinya apapun yang akan aku ucapkan malah akan menambah berat beban hidupnya.

"Lalu bagaimana dengan hubungan asmaramu?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku gelagapan mendengar pertanyaan itu. Jujur saja kalau kamu mau tahu, selama dua belas tahun ini aku masih menunggumu, sedikitpun aku tak pernah berani untuk menghadirkan sosok lain untuk menggantikan kamu, kalau kamu mau men cap aku sebagai lelaki bodoh, silakan atau kamu mau memvonis aku sebagai lelaki pemimpi, aku terima.

"Aku sudah menikah" jawabku. Aku luar biasa menyesali kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku.

"Benarkah," katamu dengan nada kaget, "pasti bertuntung sekali wanita yang menjadi istrimu."

Aku cuma bisa garuk-garuk kepala.

"Jujur saja, aku dulu pernah jatuh hati padamu. Lalu aku bertemun Rino. Setelah sekian lama aku menjalin hubunga dengan Rino ternyata aku masih belum juga bisa melupakan kamu, dan saat Rino melamarku aku memutuskan untuk menyelidiki Rino, aku tak mau menikah dengan orang yang salah. Cerita sesudahnya kamu pasti tahu semua..."

Aku semakin bingung.

"Jujur saja, tak perlu ada yang ditutup-tutupi lagi."

Kamu mengeluarkan handphone lalu mengubungi seseorang dan meletakkan handphone-mu di meja dalam posisi loud speaker.

"Halo...." Aku mengenal jelas suara itu, suara Edwin. Teman paling dekat yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri.

"Halo..... Lu udah berdua sama dia ya? Oke, langsung aja lah gue buka semuanya ya. Cowok yang sekarang duduk di depan lu itu cinta mati sama lu. Dari dulu sampe sekarang dia kaga pernah berani pacaran, dia masih nungguin lu. Terus, kalau dia ngaku dia udah kawin, jangan percaya. Mana ada cewek yag mau sama cowok dingin kaya gitu.... Intinya gini aja deh, lu berdua itu cocok, udah ga usah maen petak umpet mulu... Gue capek denger curhatan lo berdua tiap malem....  Oke, jelas ya! Bye...!"

Wajahku pias, kamu tersenyum menang sekaligus merasa bahagia.

Pecah sudah, tak ada rahasia yang perlu diungkap lagi.

Aku tersenyum sambil berjanji padamu kalau malam ini adalah malam pertama dan terakhir aku berbohong, semoga saja.

#ODOP DAY 7


Komentar

#FPG mengatakan…
Ada terusannya ga nih? Heheheh kenapa judulnya Edwin? Ga disangka nama yang jadi judul cerita ini malah nongol belakangan
Bang Syaiha mengatakan…
Oalah...
Lain kali kalau suka jangan ditutup2in, ungkapin ajalah.. hehe
Unknown mengatakan…
iyalah to the point aja mas iik.. udah ga zaman tutup2an tar kburu ditikung temen

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s