Langsung ke konten utama

PRETTT

Bukankah menjunjung tinggi kebebasan juga sama saja dengan menanggung sebuah beban? Tidak pernah ada kebebasan yang benar-benar absolut. Kita semua senantiasa terikat. Kalau ada pepatah yang mengatakan ‘hal terbaik di dunia adalah kebebasan’ mungkin di belakangnya juga harus ditambahkan kata ‘do with your own risk!’.

Kita berdua pernah merasakannya, kamu dan aku. Kita puja kebebasan itu seperti tuhan, laksana berhala. Semua yang orang sebut sebagai aturan dan tatanan kita acuhkan. Kita mempersetankan segala yang orang sebut sebagai norma. Memang waktu itu kita masih teramat muda, kita masih terlalu hijau di dunia yang serba teratur ini. Sampai kita terdampar di paris pada bulan Nopember. Dinginnya hembusan angin jahat musim dingin eropa menusuk tulang kita sampai ke sum-sumnya. Wajah kita pucat. Perut kita hanya terisi potongan croissant sisa sarapan tadi pagi. Lambung kita perih karena terlalu banyak menampung whiskey, kita terjebak di sebuah hostel murah yang baunya sudah seperti kaus kaki yang seminggu dipakai dan tak pernah diganti. Tapi, toh kita tetap saja merasa bahagia dengan segala ilusi kebebasan yang menggantung dalam fantasi kita.

Lalu hari itu tiba, Paris, Louvre, musim gugur, di depan ratusan kaca segi tiga itu bayanganku memantul. Aku berkaca lekat-lekat. Bayanganku tunggal, berdiri bergoyang-goyang merenungi kesepianku sendiri. Sedangkan kamu?  Sudah berhari-hari kamu pergi entah kemana, tidak ada kabar. Aku ingat kata terakhir yang kamu ucapkan. Kamu lelah hidup nomaden, ingin menetap dan buru-buru ingin minggat dari Paris.

Awalnya aku pikir kamu tidak serius, tapi sekarang di sinilah aku berdiri, sebatang kara, pasrah di gigit dingin dan dikutuki daun gugur. Yang tersisa di kamar ini hanya beberapa helai rambut dan aroma parfum Escada favoritmu.

Aku lupa sudah berapa musim yang hilir mudik merangkak. Di depan peron Metro di Mesir tiba-tiba saja hidungku  menangkap aroma Escada yang begitu aku kenal. Tidak salah lagi aroma keringat bercampur Escada ini hanya milikmu, orang yang paling aku kenal melebihi diriku sendiri.

Assalamualaikum..., katamu. Aku tengadah, menatap wajahmu lekat-lekat seolah tak ingin lagi kehilangan. Beberapa detik kita berbicara lewat keheningan yang membius ini. Lalu aku menunduk dan meneruskan langkahku.

Hari ini di depan peron Metro di Mesir, aku bertemu kamu yang bukan kamu, dan kamu menemukan aku yang bukan aku. Kita adalah dua orang asing yang terasing dalam jiwa masing-masing.

#ODOP DAY 1

Komentar

Senseipetualang mengatakan…
Endingx terlalu terburu-buru mas, bikin penasaran, hehe

Dan msih meraba hubungan judul sama isix.
Unknown mengatakan…
Mantap bang. Sebagai guru bhs indo, Diksi dan gaya berceritanya pengen dianalisis..
Bang Syaiha mengatakan…
Keren mas Achmad..
Saya selalu suka tulisan ente gan.. hehehe

Semoga bisa menulis terus..
Uncle Ik mengatakan…
Iya mbak, maklum nulisnya malem-malem, jadi ngantuk mau buru-buru endingnya.
Judulnya sengaja dibikin ga nyambung sama isinya karena sudah banyak cerita yang nyambung dengan isinya😁
Uncle Ik mengatakan…
Iya mbak, maklum nulisnya malem-malem, jadi ngantuk mau buru-buru endingnya.
Judulnya sengaja dibikin ga nyambung sama isinya karena sudah banyak cerita yang nyambung dengan isinya😁
Uncle Ik mengatakan…
Terima kasih Bang Resa atas pujian nya, silakan kalau mau coba di analisis, tapi kayaknya tulisan saya belum layak
Uncle Ik mengatakan…
Terima kasih Bang Resa atas pujian nya, silakan kalau mau coba di analisis, tapi kayaknya tulisan saya belum layak
Uncle Ik mengatakan…
Terima kasih banyak Bang Syaiha, iya nih lagi cari ritme menulis lagi setelah vacuum, sekalian cari gaya menulis yang lebih fresh
Uncle Ik mengatakan…
Terima kasih banyak Bang Syaiha, iya nih lagi cari ritme menulis lagi setelah vacuum, sekalian cari gaya menulis yang lebih fresh

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s