Langsung ke konten utama

KITA: SEPASANG MANUSIA SIAL YANG DI KUTUK

Hari ini kita ada janji, kita akan bertemu di Trafalgar Square jam setengah dua siang. Lunch sekalian temu kangen setelah hampir dua tahun tidak ketemu. Dengan setelan jas warna abu-abu dipadu dengan celana curdorai hitam, aku begitu percaya diri melenggang keluar dari pintu apartemen. Aku, Nikki. Salah satu dari sekian banyak orang Jakarta yang berharap bisa menyesap manisnya hidup di Eropa yang kata orang adalah benua paling beradab dan paling berpotensi merubah nasib di dunia.

Jam tangan keperakan di pergelangan tangan kananku sudah menunjuk angka satu lewat empat puluh lima, tapi kamu belum juga hadir. Aku gelisah, khawatir kamu lupa atau berhalangan datang. Trafalgar Square selalu ramai saat jam makan siang seperti ini. Aku sibuk celingukan sambil berusaha mengingat-ingat bentuk wajahmu, lalu tepukan di pundakku membubarkan gambaran dirimu yang hampir terbentuk sempurna.

"Hei... Sudah lama menunggu ya?"

Kini di hadapanku sudah berdiri seorang gadis Amerika cantik. Dengan baju barong gombrong yang dipadukan celana jeans belel setinggi lutut, aku hampir saja tidak mengenalimu. Sekarang rambutmu yang berwarna keemasan itu dibiarkan tergerai panjang, meliuk-liuk tertiup angin. Wajahmu yang oval berpadu sempurna dengan hidung lancip dan mata biru terang. Aku hampir pangling kalau kamu tidak buru-buru menyebutkan nama.

"Maurice.. " dengan nada suara hampir tergelak kamu santai saja memelukku di depan banyak orang. Di tempat ini pelukan dan ciuman di tempat umum sudah merupakan perkara lumrah, tapi tetap saja, aku sebagai orang yang lahir dan besar di dunia timur merasa risih.

"Kamu sudah memesan tempat?" tanyamu mantap sambil celingukan memperhatikan keramaian Trafalgar Square siang ini.

Aku mengangguk sambil bergegas mengajakmu menuju ke sebuah meja meja di sudut taman.

"So, Maurice, apa saja pengalaman yang sudah kamu dapatkan selama hampir dua tahun ini bertualang?" Matamu langsung berbinar ceria saat mendengar kata 'bertualang' aku ucapkan.

Kamu mencondongkan sedikit tubuhmu ke depan, lalu berdehem sebentar, mirip seorang kepala negara yang hendak membacakan pidato luar biasa penting.

"Hei,  Nikki. Bodoh benar kamu meninggalkan negaramu yang luar biasa itu!" Kata-kata itu membuat aku tersentak.

"Kamu tahu gak sih, kalau negara kamu itu sudah seperti surga? Aku sudah masuk ke pelosok-pelosok pedalaman, bertemu suku Baduy, menyelam di Raja Ampat, digigit dinginnya dataran tinggi Dieng, lalu terdampar di Bali sampai lupa pulang. I mean, your country is so wonderful! Sementara kamu? Ngapain kamu di sini?"

Aku hanya meringis mendengar pernyataanmu yang begitu gamblang. Dengan gaya liberal Amerika wajar saja menilai seseorang tanpa tedeng aling-aling. Kamu sudah terbiasa bergaya seperti itu, akupun selalu berusaha membiasakan diri dengan hal-hal seperti itu.

"I swear, you were so fuckin' stupid when you left your country!" lanjutmu lagi.

Aku tahu, semua orang akan bilang kalau Indonesia adalah surga, karena mereka hanya memandang Indonesia sekilas dari cangkangnya saja. Sedangkan aku, aku sudah puluhan tahun hidup di sana. Sudah begitu hafal luar dalam. Sampai karatan.

Dengan gerakan yang elegan aku memajukan kursi lalu mencondongkan tubuhku ke depan. "Bagaimana kalau kita bertukar kewarganegaraan?" Dapat kutebak, kamu terhenyak, sedikit mundur dan dari wajahmu dapat kutangkap ekspresi gelisah.

"Wait my man, kamu masih waras kan?" Aku mengangguk yakin.

"Jujur ya, " jawabmu" Setengah mati aku berusaha untuk jadi seperti kamu, jadi orang Asia. Aku berjemur agar warna kulitku terlihat lebih gelap, aku belajar makan pakai sumpit, makan nasi dan berpakaian seperti orang Asia. Mungkin takdir salah menempatkanku sehingga aku terlahir di Amerika."

"Begitu juga denganku, setengah mati aku berusaha bergaya hidup seperti orang Eropa. Aku juga hasil kesalahan takdir, kenapa aku lahir di Indonesia?" kamu tergelak mendengar jawabanku.

"Kita memang orang sial yang terlahir di tempat yang tidak kita inginkan. But, untuk bertukar kewarganegaraan, maaf saja. Bagaimanapun aku masih cinta Amerika."

Aku manggut-manggut mendengar jawabanmu.

"Maurice, "kataku dengan suara sedikit diberat-beratkan." Kita bukan saja sial, tapi kita sudah dikutuk jadi manusia." dahimu mengernyit.

"Kita dikutuk untuk selalu menginginkan apa yang kita tidak punya, terus-menerus sampai kita mati."

Kamu mengangguk paham. Seiring berjalannya waktu Trafalgar Square semakin sepi. Matahari di sebelah barat mulai semburat kemarahan.

"Tapi bagaimanapun juga,  marilah kita nikmati kesialan dan kutukan yang sudah diberikan kepada kita. Mari kita rayakan hari ini."

"Apa yang harus kita rayakan?" tanyamu bingung.

"Kita harus merayakan diri kita sebagai manusia, tidak mudah menginsyafi diri sebagai manusia yang sial dan terkutuk seperti kita.... " Kamu mengangguk setuju.

Trafalgar Square bertambah sepi... Entahlah besok apalagi yang aku dan Maurice akan temui. Semoga bukan kutukan dan kesialan baru.

#ODOP DAY 3


Komentar

Unknown mengatakan…
Judulnya serem, isinya ngga serem malah

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s