Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 2

Jakarta di pertengahan Juli seharusnya sedang memasuki puncak musim panas tapi sudah hampir seminggu ini selalu turun hujan. Musim sepertinya sedang mengalami anomali yang luar biasa. Tidak hanya Jakarta, tapi semua kota di dunia mengalami fenomena aneh yang sama. Sebagian gurun sahara sudah mulai menghijau, rerumputan liar tumbuh berhektar-hektar, oasis baru bermunculan. Tidak hanya di Sahara, tapi juga semua gurun lain yang ada di dunia, gurun Kalahari dan Gobi tidak luput dari fenomena yang membingungkan ini. Gurun jadi subur dan menghijau. Suhu di Arktik dan Antartika tiba-tiba drop, pencairan es di kedua kutub tersebut berhenti. Perkiraan ilmuwan selama beberapa dasawarsa terakhir salah besar, tidak terbukti. Kutub kembali perkasa dengan gunung-gunung es nya yang menjulang megah. Bumi seperti ter-reset dengan sempurna. Jutaan manusia merayakan perubahan ini, bumi kembali menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Tapi sebagian yang merasa awas malah cemas. Ada sesuatu yang besar yang akan segera menimpa manusia.

Nikki terbangun dari mimpinya yang menakutkan. Semuanya tampak seperti nyata. Rasa haus yang luar biasa masih bisa dia rasakan, kerongkongannya masih terasa terbakar. Dia terbatuk-batuk di kursi belakang mobilnya. Pak Ibrahim yang menyadari hal ini segera memberikan sebotol air mineral.

"Masih bermimpi hal yang sama, Pak?" tanya Pak Ibrahim sambil matanya tetap awas melajukan mobil dalam cuaca hujan. 

Nikki tidak segera menjawab, dia membuka tutup botol dan segera meminum isinya sampai habis. Sudah hampir dua minggu berturut-turut dia memimpikan hal yang sama. Ada yang aneh dengan mimpinya.

"Jika mimpi yang sama berulang lebih dari tiga kali, biasanya itu pesan, Pak. Ada sesutu yang ingin disampaikan lewat mimpi itu." Pak Ibrahim meneruskan kata-katanya.

Pesan? Pesan apa? Nikki termenung. Dia bahkan tidak bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan mimpi tersebut.

Di perempatan jalan yang lengang lampu lalu lintas menyala  merah. Pak Ibrahim menghentikan mobilnya.

"Terobos saja, Pak!" kata Nikki tidak sabar.

Pak Ibrahim diam saja.

"Ayo, Pak! Tidak apa-apa. Jalanan kosong, aman." Kata Nikki lagi.

Baru saja Pak ibrahim menginjak pedal gas, tiba-tiba ada seorang pejalan kaki melintas, sempat tertabrak tapi tidak terlalu keras. Tubuh pejalan kaki yang berpakaian serba hitam itu jatuh ke atas kap mobil. Kepalanya mendongak. Pak ibrahim kaget, tidak menyadari kalau ada orang yang mau menyeberang, padahal sejauh pengamatan dia dari tadi tak ada seorangpun di jalanan ini.

Yang paling merasa kaget adalah Nikki. Wajah pucat, rambut tembaga. Dia merasa mengenal wajah itu. Tapi kapan? Di mana?

Pak Ibrahim lekas-lekas membuka pintu dan turun dari mobil. Ingin memastikan orang yang barusan tertabrak tidak apa-apa.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa.

Nikki masih terkesima. Otaknya meraba-raba, mencoba mengingat wajah yang baru saja dilihatnya.

Pak Ibrahim masuk ke mobil dengan wajah gusar.

"Bapak barusan melihat kan?" katanya dengan suara masih gemetar.

Iya, kata Nikki pelan.

"Tapi saat saya periksa orangnya sudah tidak ada, Pak."

Sudahlah, lupakan saja. Kata Nikki dengan nada malas.

Bukan tabrakan itu yang menjadi masalah, tapi wajah pucat dan rambut tembaga itu.

Lampu lalu lintas menyala hijau. Pak Ibrahim menginjak pedal gas pelan-pelan khawatir kejadian barusan terulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...