Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 4

BAB 3

FENNA

Gadis itu masih berdiri di balkon rumahnya sambil memandangi garis-garis hujan. Hatinya gusar. Sejak seminggu yang lalu dia terus memimpikan hal yang sama. Dia tahu jika saat yang diramalkan akan segera datang. Akankah manusia bertahan?

Bumi yang berumur hampir lima miliar tahun ini sudah berkembang sedemikian sempurna untuk melindungi dirinya dalam sebuah sistem tetap yang tak bisa dirubah. Bumi bisa mereset dirinya ke keadaan awal jika merasa terlalu banyak kekacauan yang mengotori siklus. Manusia yang tidak sadar ada dalam bahaya besar.

Kesadaran tentang pemanasan global yang sekarang digembar-gemborkan di seluruh dunia sudah terlambat. Manusia malas membaca yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Padahal semuanya terpampang dengan jelas  di sekeliling mereka.

Puluhan bahkan ratusan kali manusia-manusia yang diberikan pencerahan hadir ke dunia, memberikan peringatan dan mengajarkan agar manusia kembali menjadi manusia, kembali ke semestinya manusia yang merupakan bagian dari alam, bukan malah bermusuhan dan merusak alam. Tapi kebanyakan manusia cepat lupa.

Tak ada pilihan lain, kesadaran global manusia yang utuh adalah satu-satunya penyelemat manusia agar bisa bertahan. Selain dari itu manusia akan menemui kehancuran. Alam terlalu kuat dan perkasa untuk dilawan.

Gadis itu tengadah ke langit yang kelabu. Matanya menutup, bibirnya bergerak-gerak merapal doa. Kulitnya yang pucat menampakkan garis-garis urat kehijauan dan rambutnya yang berwarna tembaga berkibar-kibar tertiup angin. Dia berhenti berdoa tapi tetap tengadah ke langit seolah-olah sedang mendengar sesuatu dari atas sana.

Namanya Fenna, dia terlahir dengan sebuah sebuah berkah sekaligus kutukan yang selalu menghantui dirinya sepanjang hidup. Dia tidak mengetahui semua hal ganjil yang dilihatnya adalah  karena ada bagian dari dirinya yang bekerja terlalu sensitif. Fenomena-fenomena aneh dan bisikan asing yang sering dia dengar ternyata merupakan pesan-pesan tersembunyi yang akan menentukan ke arah mana hidupnya akan berlanjut. Dia dan Lara sama, hidupnya sudah dipilih dan harus melakoni perannya dengan baik. Bagi mereka hidup adalah perjalanan dan bukan lagi sebuah pertanyaan.

Hal yang paling menyiksa Fenna adalah dirinya bisa menangkap emosi orang-orang di sekitarnya dengan begitu sempurna, seolah-olah semua emosi itu ditujukan kepadanya, terlebih jika dia berada di dekat tempat yang menampung banyak air seperti laut, sungai atau danau.

Komentar

#FPG mengatakan…
Kok jadi ingat buku dunia anna ya pas baca tulisan ini?
Uncle Ik mengatakan…
Saya belum pernah baca buku dunia Anna, itu buku Indonesia atau terjemahan ya? Takut ada kesamaan cerita?

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s