Langsung ke konten utama

EARTH TO BELLA

"Ngapain sih kamu ngasih duit ke anak tadi?" Itu kata-kata yang kamu ucapkan di perempatan jalan dua tahun yang lalu. Waktu itu sore-sore, hujan gerimis. Aku yang tak mau ambil pusing santai saja sambil membesarkan volume handphone-ku. Walaupun pacar ngomel rock must go on.

Tapi aku tak pernah menyangka persoalan yang semula aku anggap remeh ternyata berbuntut panjang. Di depan pagar rumah kamu ngomel sejadi-jadinya. Tadinya aku pikir kamu marah karena aku tidak peduli dengan omelanmu dan malah membesarkan volume handphone-ku.

Persoalan tambah rumit saat kamu mulai menyebut-nyebut anak jalanan itu cuma korban, mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka dipaksa bekerja mengamen, meminta-minta dan pekerjaan lainnya. Aku sabar saja sambil mendengarkan.

Lalu aku ingat betul kata-kata itu. Kamu bilang dengan aku memberikan recehan kepada mereka berarti aku juga ikut menyengsarakan nasib mereka, karena dengan aku memberi recehan berarti aku ikut andil dalam memperpanjang perbudakan mereka. Aku mengernyitkan dahi. Aku yang bodoh dan tidak pernah ambil pusing dalam persoalan itu atau kamu yang uring-uringan dan mulai tidak logis?

Ocehanmu berlanjut, kamu bilang kalau aku mau membantu mereka lebih baik aku sumbangkan uangku ke dinas sosial resmi, atau panti asuhan resmi atau lembaga resmi yang... . Resmi... Resmi... Resmi.... Persetan! Memangnya mau dinas sosial mengurusi orang yang mau menyumbang uang seribu perak?!

Dengan suara yang tak kalah tingginya dengan suaramu aku berkata kalau kamu sebegitu pedulinya dengan nasib mereka kenapa cuma bisa ngomel? Kenapa kamu tidak terjun langsung?  Aku memberikan uang seribu perak ke anak jalanan peminta-minta didasarkan pada nurani, tidak lebih! Isi otakmu terlalu banyak prasangka!

Matamu mulai sembab, hidungmu kembang kempis menahan tangis. Aku tak peduli. Kupasang headset di telinga lalu menyetel musik dengan volume maksimal. Naik ke atas motor dan pergi begitu saja.

Itu dua tahun lalu.

Dua jam lalu kamu baru saja meneleponku, kamu sedang ada di luar kota, di sebuah kampung terpencil, melatih keterampilan anak-anak di sana agar punya keahlian lalu nantinya tidak harus berjejal-jejal pergi ke kota untuk berebut sesuap nasi yang kadang malah akan mengantarkan mereka berhimpit-himpitan mencari receh di lampu merah.

Aku tersenyum, bangga dalam hati. Kamu sudah melangkah lebih jauh dari aku yang cuma bermodal nurani. Seluruhnya kamu, hati pikiran dan tubuh sudah kamu sumbangkan untuk mereka yang kurang beruntung.

(buat bella)
#ODOP DAY 2

Komentar

Unknown mengatakan…
Bagus, endingnya kece
Unknown mengatakan…
Bagus, endingnya kece
Bang Syaiha mengatakan…
Simpel, padat, dan mengena. Always... Keren, Mas..
Uncle Ik mengatakan…
terima kasih banyak atas pujiannya Mbak Rina
Uncle Ik mengatakan…
terima kasih kasih banyak Mbak Laily
Uncle Ik mengatakan…
terima kasih banyak Bang Syaiha, masih nyari ritme penulisan biar rutin
Uncle Ik mengatakan…
terima kasih banyak Bang Syaiha, masih nyari ritme penulisan biar rutin
Uncle Ik mengatakan…
terima kasih kasih banyak Mbak Laily

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...