Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 7

TITIK 4

1

Fenna bangun dengan keadaan tubuh banjir keringat. Dia masih menangis, rasa rindu dan takut pada apa yang baru saja dimimpikannya membuat tangisannya tak mudah berhenti begitu saja. Dia menyibak sedikit pintu tenda yang terbuat dari kanvas kaku berwarna biru gelap. Matahari sudah merah. Jam berapa sekarang? Batinnya. Dia mengaduk-aduk tas bawaannya dan mengeluarkan handphone. Jam setengah enam sore! Lama sekali dia tertidur.

Dia masih ingat pesan yang diberikan kakeknya dalam mimpi. Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Kata-kata itu terus terngiang dalam kepalanya. Cepat-cepat dia bangun, mengaduk-aduk isi tasnya lagi dan mengambil senter. Saat pertama datang ke pulau ini dia tahu jika ada sebuah reruntuhan bekas bangunan di belakang pulau, jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar sepuluh menit berjalan kaki, tapi tempatnya sedikit memisah dan jarang dilalui wisatawan atau para pemancing. Secara garis besar, tempat itu menakutkan, ditambah lagi sekarang hampir maghrib.

Pulau onrust adalah salah satu pulau bersejarah yang masih termasuk ke dalam jajaran kepulauan seribu, jaraknya yang sangat dekat, hanya butuh sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit dari Pelabuhan Kamal menjadikannya salah satu pulau yang paling banyak dikunjungi. Secara kepariwisataan tidak banyak yang bisa ditawarkan oleh pulau ini, tidak banyak fasilitas yang disediakan. Tapi dari sisi sejarah pulau ini menyimpan kekayaan yang tidak terkira.

Konon nama Onrust diambil dari kata unrest yang berarti tidak pernah istirahat. Dulunya, semasa zaman penjajahan Belanda pulau ini merupakan tempat perbaikan kapal yang selalu sibuk  siang dan malam. Puluhan kapal dagang bersandar menungu perbaikan. Karena begitu strategisnya pulau ini Pemerintah Hindia Belanda waktu itu sampai merasa harus membangun sebuah benteng perlindungan di pulau dekat Pulau Onrust, sampai sekarang benteng tersebut masih berdiri kokoh di Pulau Kelor yang berjarak tidak jauh dari Pulau Onrust dengan menara meriamnya yang megah.

Konon beberapa pengunjung yang sempat menginap atau para pemancing yang melewatkan malam di sana sering mendengar derap langkah kaki prajurit yang sedang baris-berbaris atau bertemu dengan sosok noni Belanda yang sedang berjalan-jalan berkeliling pulau sambil membawa lentera merah.

Hal itulah yang menjadi daya tarik sekaligus pesona magis yang membuat pulau ini selalu menarik untuk dikunjungi.

Fenna duduk di depan tenda sambil menimbang-nimbang untuk pergi ke reruntuhan di belakang pulau atau tidak. Di tangannya sudah tergenggam senter yang dia pikir akan sangat dia perlukan nanti. Dia mengedarkan pandangannya berkeliling mencari teman-temannya yang lain, tapi dia tidak menemui satu orang pun. Mungkin mereka sedang membuat api unggun di sisi pulau yang lain atau sedang melaksanakan kegiatan yang jaraknya sedikit jauh dari tenda.

Lima belas menit berlalu, tak ada seorangpun yang kembali ke tenda padahal waktu maghrib hampir tiba, matahari sudah tenggelam lebih dari setengahnya di cakrawala. Baiklah, batinnya. Dia segera berdiri dan mulai menyalakan senter. Di tempat ini saat malam gelap sekali karena jarak sumber lampu terdekat hanya ada di warung yang berjarak hampir lima puluh meter.

Dengan langkah perlahan dia mulai berjalan ke arah tepi pulau, dari sisi ini menjelajah pulau lebih mudah dan hampir tidak mungkin tersesat. Dia berjalan ke arah utara sambil menenunduk mengikuti cahaya lampu senter. Angin laut yang kencang dan dingin mengibarkan rambut panjangnya yang berwarna tembaga, perlahan bulu kuduknya merinding. Semakin jauh menyisir tepi pulau keadaan semakin gelap dan sepi, dalam hati dia sempat mengutuki keputusannya ini.

Dia berharap bisa bertemu dengan salah satu temannya atau setidaknya pemancing yang lewat, tapi hampir tiga menit dia berjalan tak ada satu orangpun yang dia temui, seolah-olah hanya dia sendiri yang sekarang ada di pulau ini.

Reruntuhan yang dia cari sekarang ada di hadapannya, hanya berjarak lima belas meter. Saat siang saja reruntuhan bangunan ini tampak menakutkan, apalagi sekarang. Dia menyorotkan senternya ke arah reruntuhan bangunan mencoba memastikan apa yang ada di sana. Dia ragu untuk maju lebih dekat, ada rasa takut yang tiba-tiba hadir saat dihadapkan pada pemandangan yang kini ada di hadapannya.

Bodoh sekali, kenapa aku begitu percaya dengan mimpi, batinnya. Fenna mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil mencoba mengumpulkan keberanian. Hening, terlalu hening. Sepertinya ada yang salah dengan tempat ini, dengan pulau ini. Dia bermaksud berbalik untuk kembali ke tenda. Tiba-tiba...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U