Langsung ke konten utama

BIG BANG 2 PART 6

Pembina yang tadi marah-marah pada temannya juga datang ke tenda medis, mengecek nadinya dan menanyakan sakit yang dia rasakan. Kali ini beda, dia merasakan kedamaian tiba-tiba. Bukan lagi amukan amarah yang meledak-ledak.

Kamu tidak apa-apa? tanyanya dengan wajah sedikit pias mengkhawatirkan salah satu anak yang harus dijaganya selama  kegiatan study tour berlangsung.

Fenna diam saja. Dia masih sibuk memikirkan apa yang dialaminya barusan.

"Kamu sudah sarapan?" tanya kakak pembinanya lagi. Fenna mengangguk. Sekali lagi kakak pembina mengecek nadi Fenna. Setelah yakin semuanya normal dia meninggalkan tenda sambil berpesan agar Fenna tidak usah mengikuti sisa kegiatan yag akan dilakukan mengingat kadaannya yang kurang sehat.

Mungkin karena pengaruh obat atau karena mentalnya masih syok dengan kejadian yang dialaminya barusan, tiba-tiba Fenna merasa mengantuk. Dalam tidurnya dia bermimpi bertemu kakeknya yang sudah lama meninggal. Kakek Fenna adalah salah seorang  Suku Dayak yang memiliki posisi terhormat. Ayahnya pernah berkata kalau kakeknya bertugas menjaga hutan Kalimantan, dan itu diemban kakeknya sampai dia meninggal.

Dalam mimpinya kakek Fenna datang menggunakan seragam adat kebersarannya bersama sekawanan hewan yang tak terhitung jumlahnya. Wajah-wajah hewan yang berdiri di belakang kakeknya menampakkan wajah marah, gusar dan tidak senang. Fenna senang bisa melihat wajah kakeknya lagi setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Kakek Fenna pun tersenyum, tapi di wajahnya tergambar jelas ada perasaan sedih yang sangat mendalam. Mereka tidak berucap satu sama lain dalam waktu yang lama, mereka hanya melepas kerinduan lewat tatapan mata.

Kakek Fenna berbalik ke arah hewan-hewan yang masih berdiri di belakangnya, secara serentak hewan-hewan pun duduk. Ada keheningan sebentar yang tercipta. Lalu kakek Fenna mengangguk-angguk seolah-olah sedang berbicara dengan kawanan hewan tersebut.

Kakek Fenna berbalik, kembali menghadap Fenna, kesedihan yang tergambar di wajahnya kini tergambar makin jelas. Fenna ingin mengucapkan sesuatu tapi seolah-olah suranya tidak bisa keluar.

Tiba-tiba wajah kakeknya menegang, "Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!! Pergilah ke reruntuhan di belakang pulau!!" Suara kakek Fenna tiba-tiba menggema sambil terus mengucapkan kata-kata yang diulang seperti mengisyaratkan sesuatu.

Fenna merasakan ketakutan yang luar biasa, dia menangis. Kakeknya berbalik dan berjalan menjauh diiringi kawanan hewan yang mendampinginya, tapi suaranya terus menggema seperti memantul-mantul. Perlahan tubuh kakekknya menjadi samar dan mulai menghilang.

Komentar

Unknown mengatakan…
Makin seru,...serem juga.

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...