BAB 3
FENNA
Gadis itu masih berdiri di balkon rumahnya sambil memandangi garis-garis hujan. Hatinya gusar. Sejak seminggu yang lalu dia terus memimpikan hal yang sama. Dia tahu jika saat yang diramalkan akan segera datang. Akankah manusia bertahan?
Bumi yang berumur hampir lima miliar tahun ini sudah berkembang sedemikian sempurna untuk melindungi dirinya dalam sebuah sistem tetap yang tak bisa dirubah. Bumi bisa mereset dirinya ke keadaan awal jika merasa terlalu banyak kekacauan yang mengotori siklus. Manusia yang tidak sadar ada dalam bahaya besar.
Kesadaran tentang pemanasan global yang sekarang digembar-gemborkan di seluruh dunia sudah terlambat. Manusia malas membaca yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Padahal semuanya terpampang dengan jelas di sekeliling mereka.
Puluhan bahkan ratusan kali manusia-manusia yang diberikan pencerahan hadir ke dunia, memberikan peringatan dan mengajarkan agar manusia kembali menjadi manusia, kembali ke semestinya manusia yang merupakan bagian dari alam, bukan malah bermusuhan dan merusak alam. Tapi kebanyakan manusia cepat lupa.
Tak ada pilihan lain, kesadaran global manusia yang utuh adalah satu-satunya penyelemat manusia agar bisa bertahan. Selain dari itu manusia akan menemui kehancuran. Alam terlalu kuat dan perkasa untuk dilawan.
Gadis itu tengadah ke langit yang kelabu. Matanya menutup, bibirnya bergerak-gerak merapal doa. Kulitnya yang pucat menampakkan garis-garis urat kehijauan dan rambutnya yang berwarna tembaga berkibar-kibar tertiup angin. Dia berhenti berdoa tapi tetap tengadah ke langit seolah-olah sedang mendengar sesuatu dari atas sana.
Namanya Fenna, dia terlahir dengan sebuah sebuah berkah sekaligus kutukan yang selalu menghantui dirinya sepanjang hidup. Dia tidak mengetahui semua hal ganjil yang dilihatnya adalah karena ada bagian dari dirinya yang bekerja terlalu sensitif. Fenomena-fenomena aneh dan bisikan asing yang sering dia dengar ternyata merupakan pesan-pesan tersembunyi yang akan menentukan ke arah mana hidupnya akan berlanjut. Dia dan Lara sama, hidupnya sudah dipilih dan harus melakoni perannya dengan baik. Bagi mereka hidup adalah perjalanan dan bukan lagi sebuah pertanyaan.
Hal yang paling menyiksa Fenna adalah dirinya bisa menangkap emosi orang-orang di sekitarnya dengan begitu sempurna, seolah-olah semua emosi itu ditujukan kepadanya, terlebih jika dia berada di dekat tempat yang menampung banyak air seperti laut, sungai atau danau.
Komentar