Kembali
ke pengalaman saya saat berada di JPO. Sebetulnya saya tidak membutuhkan tasbih
karena sudah membawa dari rumah, tapi hati nurani yang bekerja. Saya sapa
beliau pelan-pelan karena takut mengganggu tidurnya lalu menanyakan harga
tasbih yang dijualnya. Suaranya pelan menjawab kalau yang pendek tiga ribu,
yang panjang sepuluh ribu. Tanpa banyak memilih saya ambil satu yang panjang
lalu menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah. Sempat sedikit terbersit dalam
hati untuk menyerahkan uang senilai lima puluh ribu itu, tapi saya berusaha
menjaga perasaannya khawatir, beliau merasa terhina karena bagaimanapun juga
beliau berdagang menjajakan barang, bukan mengharap derma.
Lagi-lagi
untuk saya pribadi pertolongan Allah hadir, beliau merasa kesulitan saat
mencari kembalian dalam tas ransel berwarna colatnya yang sudah kusam, saya
tebak mungkin karena masih mengantuk atau matanya sudah sedikit kurang awas. Alhamdulillah, batin saya. Allah selalu
bekerja dengan cara yang unik untuk memperlancar niat baik. Saya katakan cukup
saat uang kembalian yang saya terima hanya dua puluh ribu rupiah.
Kata
alhamdulillah saya sebut berulang-ulang
dalam hati. Segala puji memang untuk Allah Yang Maha Memberi Jalan. Prinsip saya
dalam setiap aksi selalu mengesampingkan frase bagaimana kalau. Saya tiba-tiba
apatis terhadap diri saya sendiri. Bagaimana kalau bapak-bapak penjual tasbih
itu ternyata orang kaya dikampungnya? Bagaimana kalau uang saya tidak cukup? Bagaiamana
kalau saya kena copet dan tidak ounya ongkos untuk pulang? Bagaiamana kalau
bagaimana kalau….
Semua
pemikiran itu saya tangkis dengan dua alasan bagaimana kalau juga. Bagaimana kalau
ternyata ini adalah kesempatan terakhir saya berbuat baik di dunia? Bagaimana
kalau ternyata Allah memperhitungkan ini sebagai amalan yang bisa mengeluarkan
saya dari pedihnya siksa neraka nanti di hari perhitungan?
Saya
terus bergerak menuju Mesjid Istiqlal. Gelagat hujan masih belum menunjukkan
tanda-tanda mau berhenti. Massa semakin menyemut di depan gerbang utama Mesjid.
Memasuki area Mesjid saya langsung mencari pintu masuk ke dalam, cukup sulit karena
dari sekian banyak gerbang hanya satu yang dibuka. Saya harus mengelilingi area
Mesjid yang terbilang cukup luas. Banyak peserta aksi yang duduk-duduk di
sekitar area luar sambil menikmati makanan, kopi atau sekadar bercengkrama
dengan saudara-saudara yang baru dikenal.
Saya
duduk di pelataran Mesjid sekitar mobil pers, ada banyak sekali pers yang
meliput, hampir semua saluran televisi saya rasa ada. Sedikit heran juga saat
ada teman yang mengatakan kalau mereka sulit sekali mencari informasi tentang
aksi di televisi.
Saya
duduk santai sambil menikmati kopi dari ibu-ibu yang menjual kopi sambil
berkeliling membawa termos. Sekitar lima meter dari tempat saya duduk ada dua
orang remaja yang tidur hanya menggunakan alas koran, mengenakan baju koko
putih lengan pendek, celana bahan berwarna hitam. Yang saya salut adalah,
mereka membawa dua buah bendera dengan tongkat yang panjangnya sekitar dua
setengah meter. Tongkat yang diikat bendera tersebut disampirkan pada dinding
Mesjid agar tetap berdiri, tak ada niat sepertinya untuk menjadikan bendera
untuk sekadar selimut penghalau hawa dingin.
Tiba-tiba
hujan semakin deras, salah satu dari mereka bangun sambil mengigigil. Saya hampiri
dia dan menawarkan kopi. Pada titik ini saya merasa malu luar biasa. Remaja tersebut
menjelaskan kalau dia berasal dari daerah Sukabumi -kampung halaman saya-
dengan naik kereta. Hanya berdua, dengan perlengkapan yang saya rasa seadanya
rela jauh-jauh datang ke Jakarta. Saya, mengenakan tiga lapis pakaian yang
memang sudah saya siapkan, kaus, gamis panjang selutut dan jaket semi parka,
celana jeans, tas anti air dan sandal gunung anti selip. Saya tawarkan jaket
saya untuk dijadikan selimut temannya yang masih tidur. Remaja itupun tampaknya
masih mengantuk, mungkin dia sudah tiba sejak malam tadi. Tubuh saya sedikit
dingin karena biasan air hujan yang makin keras tapi tati saya hangat.
Angin
semakin kencang, banyak peserta yang semakin merapat ke dinding, bendera jatuh
saya lekas-lekas bangun dan menegakkan kembali. Satu bendera merah putih dan
satunya lagi Ar-Raya bendera hitam bertuliskan Laillahailallah. Baju saya mulai
basah. Tanggung, batin saya. Saya cari kantung plastik yang cukup besar lalu
mulai melakukan sweeping sampah yang
mulai terserak di sekitar pelataran Mesjid. Tidak masalah baju saya basah asal
kebersihan sekitar Mesjid masih tetap bisa terjaga.
Bersambung
Komentar