Langsung ke konten utama

PENGALAMAN MENGIKUTI AKSI 112 (PART 2)



Kembali ke pengalaman saya saat berada di JPO. Sebetulnya saya tidak membutuhkan tasbih karena sudah membawa dari rumah, tapi hati nurani yang bekerja. Saya sapa beliau pelan-pelan karena takut mengganggu tidurnya lalu menanyakan harga tasbih yang dijualnya. Suaranya pelan menjawab kalau yang pendek tiga ribu, yang panjang sepuluh ribu. Tanpa banyak memilih saya ambil satu yang panjang lalu menyerahkan uang lima puluh ribu rupiah. Sempat sedikit terbersit dalam hati untuk menyerahkan uang senilai lima puluh ribu itu, tapi saya berusaha menjaga perasaannya khawatir, beliau merasa terhina karena bagaimanapun juga beliau berdagang menjajakan barang, bukan mengharap derma.

Lagi-lagi untuk saya pribadi pertolongan Allah hadir, beliau merasa kesulitan saat mencari kembalian dalam tas ransel berwarna colatnya yang sudah kusam, saya tebak mungkin karena masih mengantuk atau matanya sudah sedikit kurang awas. Alhamdulillah, batin saya. Allah selalu bekerja dengan cara yang unik untuk memperlancar niat baik. Saya katakan cukup saat uang kembalian yang saya terima hanya dua puluh ribu rupiah. 

Kata alhamdulillah saya sebut berulang-ulang dalam hati. Segala puji memang untuk Allah Yang Maha Memberi Jalan. Prinsip saya dalam setiap aksi selalu mengesampingkan frase bagaimana kalau.  Saya tiba-tiba apatis terhadap diri saya sendiri. Bagaimana kalau bapak-bapak penjual tasbih itu ternyata orang kaya dikampungnya? Bagaimana kalau uang saya tidak cukup? Bagaiamana kalau saya kena copet dan tidak ounya ongkos untuk pulang? Bagaiamana kalau bagaimana kalau….

Semua pemikiran itu saya tangkis dengan dua alasan bagaimana kalau juga. Bagaimana kalau ternyata ini adalah kesempatan terakhir saya berbuat baik di dunia? Bagaimana kalau ternyata Allah memperhitungkan ini sebagai amalan yang bisa mengeluarkan saya dari pedihnya siksa neraka nanti di hari perhitungan?

Saya terus bergerak menuju Mesjid Istiqlal. Gelagat hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda mau berhenti. Massa semakin menyemut di depan gerbang utama Mesjid. Memasuki area Mesjid saya langsung mencari pintu masuk ke dalam, cukup sulit karena dari sekian banyak gerbang hanya satu yang dibuka. Saya harus mengelilingi area Mesjid yang terbilang cukup luas. Banyak peserta aksi yang duduk-duduk di sekitar area luar sambil menikmati makanan, kopi atau sekadar bercengkrama dengan saudara-saudara yang baru dikenal.

Saya duduk di pelataran Mesjid sekitar mobil pers, ada banyak sekali pers yang meliput, hampir semua saluran televisi saya rasa ada. Sedikit heran juga saat ada teman yang mengatakan kalau mereka sulit sekali mencari informasi tentang aksi di televisi.

Saya duduk santai sambil menikmati kopi dari ibu-ibu yang menjual kopi sambil berkeliling membawa termos. Sekitar lima meter dari tempat saya duduk ada dua orang remaja yang tidur hanya menggunakan alas koran, mengenakan baju koko putih lengan pendek, celana bahan berwarna hitam. Yang saya salut adalah, mereka membawa dua buah bendera dengan tongkat yang panjangnya sekitar dua setengah meter. Tongkat yang diikat bendera tersebut disampirkan pada dinding Mesjid agar tetap berdiri, tak ada niat sepertinya untuk menjadikan bendera untuk sekadar selimut penghalau hawa dingin.

Tiba-tiba hujan semakin deras, salah satu dari mereka bangun sambil mengigigil. Saya hampiri dia dan menawarkan kopi. Pada titik ini saya merasa malu luar biasa. Remaja tersebut menjelaskan kalau dia berasal dari daerah Sukabumi -kampung halaman saya- dengan naik kereta. Hanya berdua, dengan perlengkapan yang saya rasa seadanya rela jauh-jauh datang ke Jakarta. Saya, mengenakan tiga lapis pakaian yang memang sudah saya siapkan, kaus, gamis panjang selutut dan jaket semi parka, celana jeans, tas anti air dan sandal gunung anti selip. Saya tawarkan jaket saya untuk dijadikan selimut temannya yang masih tidur. Remaja itupun tampaknya masih mengantuk, mungkin dia sudah tiba sejak malam tadi. Tubuh saya sedikit dingin karena biasan air hujan yang makin keras tapi tati saya hangat.

Angin semakin kencang, banyak peserta yang semakin merapat ke dinding, bendera jatuh saya lekas-lekas bangun dan menegakkan kembali. Satu bendera merah putih dan satunya lagi Ar-Raya bendera hitam bertuliskan Laillahailallah. Baju saya mulai basah. Tanggung, batin saya. Saya cari kantung plastik yang cukup besar lalu mulai melakukan sweeping sampah yang mulai terserak di sekitar pelataran Mesjid. Tidak masalah baju saya basah asal kebersihan sekitar Mesjid masih tetap bisa terjaga.
Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s