Langsung ke konten utama

EDISI PRAAT









Jarak kini hanya terpaut seutas tali tipis antara degup jantung dan tarikan napas. Bintang gemintang centang perenang, penanda sekaligus pengingat bagi kita yang lupa. Buat mereka yang alpa untuk menghitung jumlah kerut pada kulit muka. Sempat tersasar sejenak di Tanah Lot, manatap gadis bermata hijau berambut emas sedang bermain peran pribumi. Dengan canang)* di tangan dan membakar dupa setanggi. Ibu… ibu… jangan bilang kamu kepingin beranak lagi, karena aku sudah sampai di ujung kaki pelangi dan menyaksikan para bidadari mandi.

Kutatap lautan tengah malam, hitam hitam, hitam sejauh mata memandang. Kutengok langit, kelam, kelam, kelam jelaga seluas semesta disepuh debu bintang. Aku usap muka dan jari tanganku gemetar. Memaksa untuk menatap telapak tangan dimana Tuhan sudah merelief nasib untuk mahkluk melata paling nista ini.

Jarak kini hanya berbatas selembar kertas dari abjad-abjad kehidupan yang dengan gagap kubaca. Alif… Ba… Ta… Alif… Ba… Ta. Sesegukan aku terhenti di tiga huruf pertama, bagaimana akan kubaca tandas dan kulalui halaman kehidupan dengan purna jika aku alpa mengeja nama Tuhan yang sudah memerintahku dengan iqra?

Aku tahu dalam heningnya kabut yang mengambang tenang di atas samudera ada sebuah cerita bagi mereka yang sudah terjaga. Sedangkan aku, masih saja terbius, mengisi paru-paru dan menghembuskan fantasi dan kenangan lalu menyembur-nyemburkannya pada dunia. Malang benar nasib hamba karatan yang lupa umur alpa tujuan.

Khilafku sadar dan sadarku fatamorgana. Aku terjebak, terikat erat, terkukung pada sebuah siklus karma yang tanpa ujung. Sedih adalah bahagia yang berdusta. Bahagia adalah dusta yang menyembunyikan wajahnya. Sampai kapan? Sampai kapan? Sampai kapan aku lepas dari samsara sedangkan gurat nasib pada telapak tangan perlahan memburam. Kini keningku hitam, berjelaga. 

Tuhan…

Tuhan…

Tuhan…

Tolong aku, aku hilang rupa.


)* tempat meletakkan bunga-bunga persembahan kepada Tuhan yang terbuat dari daun ijuk seperti daun kelapa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s