Jarak
kini hanya terpaut seutas tali tipis antara degup jantung dan tarikan napas. Bintang
gemintang centang perenang, penanda sekaligus pengingat bagi kita yang lupa. Buat
mereka yang alpa untuk menghitung jumlah kerut pada kulit muka. Sempat tersasar
sejenak di Tanah Lot, manatap gadis bermata hijau berambut emas sedang bermain
peran pribumi. Dengan canang)* di tangan dan membakar dupa setanggi. Ibu… ibu…
jangan bilang kamu kepingin beranak lagi, karena aku sudah sampai di ujung kaki
pelangi dan menyaksikan para bidadari mandi.
Kutatap
lautan tengah malam, hitam hitam, hitam sejauh mata memandang. Kutengok langit,
kelam, kelam, kelam jelaga seluas semesta disepuh debu bintang. Aku usap muka
dan jari tanganku gemetar. Memaksa untuk menatap telapak tangan dimana Tuhan sudah
merelief nasib untuk mahkluk melata paling nista ini.
Jarak
kini hanya berbatas selembar kertas dari abjad-abjad kehidupan yang dengan
gagap kubaca. Alif… Ba… Ta… Alif… Ba… Ta. Sesegukan aku terhenti di tiga huruf
pertama, bagaimana akan kubaca tandas dan kulalui halaman kehidupan dengan
purna jika aku alpa mengeja nama Tuhan yang sudah memerintahku dengan iqra?
Aku
tahu dalam heningnya kabut yang mengambang tenang di atas samudera ada sebuah
cerita bagi mereka yang sudah terjaga. Sedangkan aku, masih saja terbius,
mengisi paru-paru dan menghembuskan fantasi dan kenangan lalu
menyembur-nyemburkannya pada dunia. Malang benar nasib hamba karatan yang lupa
umur alpa tujuan.
Khilafku
sadar dan sadarku fatamorgana. Aku terjebak, terikat erat, terkukung pada
sebuah siklus karma yang tanpa ujung. Sedih adalah bahagia yang berdusta. Bahagia
adalah dusta yang menyembunyikan wajahnya. Sampai kapan? Sampai kapan? Sampai kapan
aku lepas dari samsara sedangkan gurat nasib pada telapak tangan perlahan
memburam. Kini keningku hitam, berjelaga.
Tuhan…
Tuhan…
Tuhan…
Tolong
aku, aku hilang rupa.
)*
tempat meletakkan bunga-bunga persembahan kepada Tuhan yang terbuat dari daun
ijuk seperti daun kelapa
Komentar