Langsung ke konten utama

MENGATASI KEBUNTUAN DALAM MENCARI IDE TULISAN-3

dodimawardi.wordpress.com


Tulisan ini merupakan bagian penutup tentang metode pencarian ide tulisan yang saya biasa lakukan.

Setelah musik, film dan bacaan seperti yang saya jabarkan di bagian satu dan dua, kita bisa  menyimpulkan bahwa sebuah ide bisa lahir dari ide lainnya yang terlebih dahulu diciptakan. Itulah esensi seni, selalu berbiak dan mencoba menginspirasi walau datang dalam bentuk yang berbeda-beda.

Sebuah ide tulisan bisa lahir karena terinspirasi oleh tulisan lainnya. Sebuah ide tulisan bisa lahir dari musik atau juga film. Prosesnya akan terus berulang seperti itu.

Bagian ini khusus saya tulis karena tingkat penerapannya dalam pencarian ide sedikit sulit tapi jika kita sudah terbiasa kita akan merasa bahwa ide untuk dituliskan jadi terlalu banyak dan tidak pernah berhenti datang.

Pada beberapa kesempatan saat membedah sebuah tulisan saya selalu menekankan kepada anggota bahwa sebuah tulisan sebenarnya bukan hanya sebuah media baca tapi juga sekaligus media rasa, sebuah media yang bisa mentransfer perasaan emosi, sedih atau senang dari penulis kepada pembacanya.

Pada tulisan ini saya akan menekankan tentang pentungnya sebuah rasa peka bagi seorang penulis. Harus diakui bahwa setiap saat kita selalu dihadapkan pada sebuah buku yang tidak pernah bisa habis dibaca. Tepat, buku itu adalah kehidupan yang terpampang di hadapan Anda setiap saat.

Bayangkan berapa banyak kejadian yang Anda temui setiap hari dari mulai bangun tidur sampi tidur lagi, bahkan potongan mimpi yang masih sempat teringat saat bangin tidur pun bisa dijadikan bahan tulisan kita. Syaratnya, kita harus memiliki kepekaan di atas rata-rata orang lainnya.

Saya akan sedikit membantu prosesnya. Misalnya, sekitar dua minggu yang lalu saya baru saja membeli sebuah sepatu boots, karena saya menyukai warna dan modelnya hampir setiap hari saya memakainya. Hampir saya lupa dengan sepatu kets yang biasa saya pakai sebelumnya, saya taruh saja secara serampangan di bawah tangga.

Itu hanya sebuah peristiwa sederhana yang bagi sebagian orang mungkin normal. Tapi kita akan sedikit mengasah kepekaan kita. Kita berandai-andai sepatu kets itu memiliki jiwa, memiliki perasaan. Apa kira-kira yang akan dia katakan kepada kita? 

See, sebuah peristiwa sederhana kadang menarik untuk dijadikan bahan sebuah tulisan.

Atau, apakah Anda pernah memikirkan petualangan uang lima ribu rupiah sehingga sampai mendarat di dompet Anda? Bisa saja uang lima ribu rupiah itu sudah pernah melakukan perjalanan yang lebih jauh di banding Anda. Dimulai dari tempatnya dicetak, lalu disetor ke Bank, mendarat di tangan tukang sayur, masuk ke dalam kotak amal bahkan mungkin jadi pelampiasan orang iseng untuk menuliskan nomor telepon di atasnya.

Sesederhana itu saja. Banyak hal yang sebenarnya bisa menjadi bahan tulisan yang bagus tapi seringkali luput dari pandangan kita. Kenapa? Karena kita terlalu memikirkan hal-hal besar untuk kita tuliskan.

Berarti mulai saat ini kita harus jeli memandang segala peristiwa yang tersaji di hadapan kita. Mulailah berandai-andai untuk menjadi sepatu kets, uang lima ribu rupiaj atau mungkin menjadi segelas kopi yang Anda nikmati sambil membaca tulisan ini.

Selamat berandai-andai dan selamat melatih kepekaan.

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U