Sudah
lama hati saya tidak bergetar sehebat ini dan menangis, ada keharuan besar yang
tiba-tiba saja hadir dan harus memanifestasikan dirinya dalam bentuk air mata.
Ini
adalah aksi damai yang saya ikuti untuk ketiga kalinya. Pada aksi sebelumnya;
Empat November (411) dan Dua Desember (212) saya juga sempat hadir, tapi pada
aksi ketiga inilah; Aksi Damai Sebelas Februari (112) saya baru benar-benar
ingin menuliskannya agar teman-teman yang tidak memiliki kesempatan untuk hadir
bisa ikut merasakan apa yang saya rasakan.
Seperti
biasa, sebelum mengikuti Aksi Damai saya selalu membuat run down kegiatan bersama teman-teman yang berencana hadir. Siangnya,
tanggal 10 Desember, saya memberi instruksi agar saya dan teman-teman berangkat
pukul tiga dini hari supaya bisa mengikuti ibadah shalat subuh di Mesjid
Istiqlal.
Sesaat
sebelum berkumpul, saya sudah mendapatkan firasat kalau Aksi Damai yang akan
saya ikuti kali ini akan mendapat ujian yang cukup berat, saya anggap sebagai ujian
naik kelas, setelah aksi pertama 411 kami mendapat ujian berupa panas yang
lumayan pada awal aksi dan hujan lebat saat menunaikan shalat jumat pada aksi
kedua 212, ujian kali ini lebih luar biasa. Sekitar pukul 23.30 Jakarta diguyur
hujan cukup lebat yang tentu saja bisa menyurutkan semangat teman-teman dan
saya yang ingin menghadiri Aksi Damai di Mesjid Istiqlal.
Sebagai
informasi, dalam setiap Aksi Damai, saya tidak mengemban misi apa pun. Secara politik
saya mempunyai pandangan spesifik tapi itu hanya untuk saya pribadi saja. Alasan
utama saya mengikuti setiap aksi adalah ingin
belajar menjadi tuan rumah yang baik, menyambut saudara-saudara saya yang sudah
rela mengorbankan waktu dan biaya untuk bersilaturahmi menjenguk
saudara-saudaranya di Jakarta.
Mendekati
pukul dua dini hari tidak ada tanda bahwa hujan akan berhenti, beberapa teman
menyarankan untuk mengundur atau bahkan membatalkan rencana. Tapi saya
bersikeras untuk tetap berangkat sesuai rencana. Pukul 02.30 saya langsung
pesan mobil melalui aplikasi, sesuai prediksi saya akan sulit sekali. Beberapa penyedia
jasa (driver) menolak dan membatalkan
pesanan, mungkin khawatir terjebak kemacetan. Untung saja pertolongan Allah
selalu ada untuk orang-orang yang berniat baik. Akhirnya ada juga driver yang
bersedia setelah saya janjikan kita turun jika mulai mendekati kerumunan agar driver bisa langsung berbalik arah dan
bisa kembali bertugas mencari penumpang.
Sepanjang
perjalanan semua lancar. Tidak ada pengamanan yang terlalu mencolok dari aparat
keamanan. Kami turun di depan halte Stasiun Juanda, tidak ada penumpukan massa
yang terkonsentrasi hanya beberapa puluh orang yang bergerak secara teratur ke
arah Mesjid Istiqlal dengan rapi.
Sesaat
saya turun dari mobil ada rombongan sekitar empat bus yang baru saja tiba. Naluri
saya bekerja. Saya tidak langsung bergerak ke arah Mesjid Istiqlal, saya diam
menunggu semua rombongan dari dalam bus turun. Cuaca gerimis yang sesekali
membesar tidak munyurutkan niat saya untuk menunggu rombongan bergerak. Prediksi
saya tepat, rombongan tersebut bingung arah mana yang harus diambil menuju
Mesjid Istiqlal, lalu saya arahkan mereka untuk menyeberang melalui JPO agar
bisa langsung tiba di samping gerbang Mesjid dari pada jalan memutar yang
terlalu jauh karena beberapa dari anggota rombongan terlihat sudah cukup sepuh, ditambah cuaca hujan yang dingin
dan jalan licin.
Saya
mengekor rombongan. Di atas JPO saya melihat ada seorang bapak-bapak penjual
tasbih. Saya taksir usianya sekitar enam puluhan. Sambil terkantuk-kantuk
beliau menahan dingin karena hanya mengenakan kaus berlengan pendek dengan
motif garis-garis.
Sebagai
catatan, setiap mengikuti aksi ada beberapa hal yang selalu saya persiapkan
selain fisik. Pertama saya biasa membawa uang sedikit lebih banyak, tujuannya
jika saja ada kesempatan untuk membantu biasanya akan selalu saya usahakan
untuk membantu. Kedua, sebisa mungkin saya selalu membeli sendiri makanan dan
minuman yang saya butuhkan. Memang, pada kenyataannya makanan dan minuman tidak
pernah habis dan selalu ada saja orang-orang dermawan yang menyumbangkan
makanan dan minuman untuk peserta aksi, bahkan beberapa pedagang sudah menaruh
tulisan ‘GRATIS’ di gerobak dagangannya, saat saya tanya ternyata sudah ada
dermawan yang memborong dagangannya untuk diberiksan pada peserta aksi. Subhanallah,betapa mulianya hati mereka.
Tapi tetap saja saya selalu usahakan untuk membeli sendiri kebutuhan saya. Tujuannya,
biarlah makanan dan minuman itu untuk saudara-saudara saya yang datang dari
luar daerah.
bersambung
Komentar