sumber: kaskus |
Heran, setelah berhasil selamat dari gunung itu kok
sepertinya orang-orang di sekitarku malah memandang dengan cara yang aneh?
Bukannya memberikan selamat karena aku
berhasil bertahan hidup setelah hampir sepuluh hari tersesat, mereka malah
memanggilku dengan sebutan monyet. Jujur saja aku kecewa dengan mereka. Kalau
mereka berharap aku mati di gunung itu, kenapa tidak bilang saja secara
langsung? Bukannya malah mengata-ngatai aku seperti ini.
Memang setelah aku keluar dari gunung itu selalu ada
seekor monyet yang mengekor di belakangku.
Asal kalian tahu saja, monyet itu yang sudah bikin aku selamat dan
berhasil keluar dari gunung sialan itu. Kalau saja aku tidak bertemu si monyet
aku pasti sudah mampus.
Biar aku ceritakan ya, di hari ketiga setelah tersesat,
aku tidak pernah berpikir akan keluar
dari gunung itu hidup-hidup. Kata orang-orang gunung tempat aku biasa berburu
itu wingit, angker, sudah banyak orang yang masuk tapi tak pernah berhasil
keluar.
Sempat putus asa, aku pernah berniat melesakkan peluru
dari senapanku ke arah perut. Tapi aku takut tidak langsung mati. Keadaan
cidera tapi tidak mati malah akan membuat aku semakin tersiska. Aku
urungkan niat. Berusaha berjalan terus
supaya ketemu jalan setapak. Siapa tahu saja aku bisa bertemu pencari kayu
bakar atau mungkin tim SAR.
Di hari ke empat, keadaanku semakin payah. Tubuhku
luar biasa lemas, terlalu sering menggasak akar pohon dan daun-daunan liar
sudah menunjukkan efeknya terhadap tubuhku. Sepertinya aku keracunan, pandangan
mataku mulai buram, nafasku senen-kemis. Beberapa jam terakhir, perutku cuma
terisi air embun yang kukumpulkan dari daun keladi.
Antara setengah sadar dan jaga, tiba-tiba ada seekor
monyet yang naik ke atas dadaku, posisiku waktu itu memang sedang telentang.
Sialnya, dengan santai tiba-tiba saja dia berak, di atas dadaku, tepat di depan
hidungku. Dasar monyet sialan. Merasa terhina dengan perlakuan si monyet,
kukeluarkan sisa tenaga yang aku punya untuk bangun. Si monyet sadar dan lekas
pergi menyingkir.
Dengan kepala masih pening kuedarkan pandanagan,
mencari ke arah mana si monyet pergi. Ketemu, dia masuk ke dalam hutan yang
sedikit landai. Kukejar dia dengan langkah gontai.
“Oi, bangsat. Kesini kau! Dasar monyet tak tahu
adat.” Aku menyumpah-nyumpah sepanjang jalan.
Kekeluarkan parang yang tersampir di pinggang. Kalau
si monyet mendekat akan kuhabisi, batinku. Si monyet terus berayun pada dahan
pohon yang rendah, seolah-olah mempermainkanku sambil mengeluarkan suara ‘nguk
nguk nguk nguk’.
Tidak sampai tiga puluh meter dari tempat
pertemuanku dengan si monyet, ada gubuk dari beton dengan atap seng. Si monyet
dengan santainya nangkring di atas atap sambil mecari kutu.
‘Duar… Duar…’ tiba-tiba saja petir menggelegar,
kabut turun, hujan deras mengguyur. Aku belingsatan mencari tempat berlindung,
si monyet menghilang.
Dengan rasa takut tapi terpaksa, aku akhirnya masuk
ke dalam bangunan yang kutaksir adalah sebuah petilasan. Lumayan hangat di
dalam sini. Setidaknya aku tidak harus kuyup menggigil karena hujan.
Di dalam ternyata banyak makanan terhidang, ada nasi
tumpeng, pisang, kopi, rokok. Air liurku terbit. Rasa lapar yang terus
menggerogoti lambungku karena tidak terisi nasi berhari-hari membuat aku lupa
kalau petilasan ini adalah tempat yang wingit. Tempat orang-orang goblok
nyupang sama dedemit.
Aku nekat saja menyikat semua makanan yang ada. Peduli
setan kalau nanti aku disurupi raja siluman. Makanan tandas, hujan berhenti. Si
monyet muncul lagi.
“Terima kasih.” Kataku pada si monyet sambil
memasukkan kembali parangku ke sarungnya. Si monyet hanya menjawab ‘nguk… nguk…
nguk…’.
Semenjak hari itu, aku jadi akrab dengan si monyet. Aku
bertualang dari satu petilasan ke petilasan lainnya. Ternyata banyak sekali
petilsan yang tersembunyi di gunung ini. Si monyet sepertinya sudah hafal betul
lokasi setiap petilasan. Di sana aku bisa menggasak makanan sesukaku. Di kehidupan
normal saja aku tidak pernah merasakan yang enak-enak, tapi di petilasan sering
aku temui makanan mewah, uang dengan pecahan bermacam-macam, bahkan ada orang
goblok pemuja siluman yang menyampirkan jas, dasi dan celana lengkap, seperti
baru keluar dari laundry. Aku tidak tahu apa maksudnya.
Begitu terus sampai akhirnya aku bisa menemukan
jalan keluar dari gunung terkutuk itu. Dan orang-orang memandangku dengan
tatapan aneh saat aku berhasil selamat. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Terserah
mereka mau berpendapat apa saja, aku tidak mau peduli.
Suatu hari setelah bangun tidur, perutku mulas. Buru-buru
aku berlari ke arah sungai untuk buang hajat. Si monyet ikut serta bersamaku ke
sungai.
Sambil mejan-mejan karena perutku yang sakit aku menatap
aliran air di bawahku. Lho, kok wajahku seperti ada bulunya? Kukucek-kucek mata
mencoba memastikan. Benar, wajahku berbulu, seperti monyet.
Si monyet bergantungan lalu melompat dan hinggap di
batu besar sebelah kiriku. Sekali lagi aku tatap pantulan wajahku yang seperti
monyet di permukaan air. Masih belum berubah, malah semakin mirip monyet.
Aku berpaling ke si monyet. Si monyet tiba-tiba
duduk seperti orang bersila. Aku tatap wajahnya dalam-dalam.
“Selamat bergabung dengan kami, Anak Muda.”
Tiba-tiba puluhan monyet keluar dari balik pepohonan
seolah menyambut anggota baru.
Ternyata ini benar-benar terjadi. Aku seperti
mereka. Aku menjadi monyet. Sial!
Komentar