Langsung ke konten utama

SEMENTARA KITA TERTIDUR

sumber: infotrens.com


Aho segala kita anak adam. *)


Empat belas ribu delapan ratus, tas sekolah paling murah pun harganya di atas tiga puluh lima ribu. Dia seka air mata yang tiba-tiba mengembang di sudut mata, terkenang perkataan putri semata wayangnya tadi pagi.

“Pa’e nanti kalau nanti pulang belikan tas sekolah yang ada gambar barbie-nya ya!”

Dia hanya mengangguk.

“Warna merah jambu ya, Pa’e” tambah putrinya sesaat sebelum dia memikul keranjang sol sepatu.

Sekali lagi dia hanya mengangguk.

Hatinya teriris, getir. Sudah malam begini, di saku hanya ada empat belas ribu delapan ratus. Itu pun sudah sebisa mungkin mengirit pengeluaran hari ini. Dengan sekantung garam yang dia siapkan dari rumah, pengganti kerupuk untuk dimakan dengan nasi. Nasi dan garam itulah, sarapan sekaligus makan malamnya hari ini.

Di atas jembatan penyebrangan yang mulai sepi dia terduduk mengutuki nasib. Matanya menerawang jauh, ke langit malam yang pekat, bulan, bintang, puncak gedung pencakar langit, ke anak-anak yang sedang mengamen di perempatan lampu merah.

Dia teringat putri semata wayangnya lagi. Anak-anak yang sedang mengamen dilampu merah usianya tidak jauh berbeda dengan putrinya yang sekarang mungkin sedang terlelap sambil memimpikan menyandang tas merah jambu bergambar barbie di hari pertamanya sekolah.

Maafkan ayah, Nak. Bisiknya dalam hati.


Aho segala kita yang fana.


Dari sore hujan, jalanan sepi. Dengan sebatang rokok mild di sela jari dan ruahan aroma parfum murahan dia duduk di trotoar. Sudah berjam-jam berdiri tapi belum ada satupun pelanggan yang datang.

Bedakku mungkin sudah luntur, batinnya. Dia mengeluarkan tempat bedak lalu membukanya. Bayangan wajah bermake up tebal dengan warna pemulas bibir merah menyala terpantul samar di sana.

Tiba-tiba dia teringat wajah sang adik yang selalu membanggakan kakaknya.

“Kakakku hebat dong, jadi sales mobil di Jakarta. Kakakku sudah janji kalau aku juara kelas nanti  mau dibelikan sepatu baru, yang ada lampu kelap-kelip di sol nya.”

Dia meringis, bukan karena angin dingin yang tiba-tiba saja terlempar dari pintu mini market yang terbuka di belakangnya. Hatinya menggigil, mengenang surat dari adiknya tadi pagi yang bercerita kalau dia sudah jadi anak baik, rajin membantu orang tuanya, rajin belajar dan sekarang jadi juara kelas. Adiknya menanyakan sepatu dengan sol lampu kelap-kelip yang pernah dia janjikan.

Setiap saat dia menegang sang adik, hatinya teriris sembilu, tak ingin kelak adiknya menjadi seperti dia saat ini. Menajajakan diri malam-malam di perempatan jalan.

Tiba-tiba ada Jazz merah yang menepi.

“Hai, cantik ke sini dong.”

Dia sumringah, lekas-lekas bangun dan merapikan rok mininya yang kusut.

Seorang lelaki paruh baya bertubuh tambun dan berambut cepak muncul dari balik kaca mobil gelap.

“Kalau mau long time berapa harganya semalam?” tanyanya. Aroma alkohol yang kuat menyeruak memenuhi udara.

Dari tape di dashboard  suara Sting dengan Roxxane-nya mendayu-dayu mengusik malam yang dingin.

“Roxxane…. You don’t have to put on the red light..

… those days are over…
You don’t have to sell your body to the night…

Roxxane…”


  Aho segala kita yang rindu pulang.


“Pa’e pulang saja ke rumah sekarang. Putri dan Ma’e rindu. Putri tahu Pa’e sudah bersusah payah mencari uang untuk membelikan Putri tas barbie warna merah jambu. Tapi sekarang Putri cuma mau Pa’e pulang saja.  Putri tahu Pa’e sampai membawa garam untuk lauk makan siang agar bisa mengirit uang jadi bisa membelikan Putri tas.

“Maafkan Putri, Pa’e. Putri terlalu banyak meminta. Pa’e tahu tidak? Tadi Ma’e menjual botol-botol bekas air mineral yang selama ini Putri dan Ma’e kumpulkan. Dapat empat puluh tiga ribu. Ma’e sudah membelikan Putri tas barbie merah jambu. Putri senang sekali sampai Putri bawa-bawa terus kemanapun Putri pergi.

“Sekarang Putri cuma mau Pa’e pulang…

Putri kangen Pa’e…

Putri kangen Pa’e…

Putri kangen Pa’e…”


Aho segala kita yang lupa.


“Kakak, adik mau kakak pulang. Adik tidak mau sepatu yang kakak janjikan. Adik cuma mau kakak saja, titik. Adik tahu kakak selama ini berbohong, kakak tidak bekerja sebagai sales mobil, kan?

Adik tahu semuanya kok dan adik tidak marah sama kakak. Kakak sudah berkorban banyak untuk adik. Adik mau kakak pulang saja supaya adik bisa ketemu kakak setiap hari. Kakak bisa mengantar adik pergi ke sekolah lalu membantu bapak memanen kangkung di rawa belakang rumah.

“Kakak, adik kangen sama kakak. Hampir tiap malam adik memimpikan kakak..

Kakak, adik kangen…

Kakak, adik kangen…

Kakak, adik kangen…”


*) kata-kata pembuka syair Hamzah Fansuri




Komentar

adrianarika mengatakan…
uncle ajarkan bubun biar bisa nulis bagus kayak gini

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s