sumber: beginner.mywapblog.com |
“Apa masih bisa, Dok? Apa masih belum terlambat?”
Dokter mengangguk.
Tiba-tiba seisi ruangan meledak oleh tangis. Pagi itu
rumah sakit banjir air mata. Ada seorang sahabat yang mati tapi jiwanya masih
bisa bertansformasi ke puluhan hidup yang lain.
Rani duduk di kursi tunggu selasar rumah sakit.
Matanya masih sembab, dadanya sesak, oleh bahagia.
*****
Rambut ikal panjang tertiup angin pantai yang
berhembus membawa angin garam ke darat. Di belakangnya berdiri puluhan gubuk
reot beratap seng yang mulai karatan.
“Mau sampai kapan mengabdikan diri di kampung nelayan
ini.” Suatu sore Rani bertanya.
Roy yang sedari tadi duduk di atas batang pohon rubuh
hanya menyisir rambutnya dengan sela jari. Matanya menerobos jauh ke seberang
lautan.
“Nggak
kangen pulang?” tanya Rani lagi.
Roy meringis. Ada satu kata yang selalu dihindarinya
sampai saat ini, pulang. Kata pulang seolah-olah selalu membenturkannya dengan
pengalaman pahit lebih dari sepuluh tahun lalu.
Roy masih bisa dengan jelas mengingat semua detail
kejadiannya.
Matahari baru saja terbit saat rumahnya bergetar hebat
dan membuat atap runtuh, untung saja dia bisa cepat berlari ke luar tapi naas
untuk adik dan ibunya. Roy menatap kengerian itu dengan jelas, debu beterbangan
ke udara, pemandangan sejauh mata memandang tampak buram. Anak-anak kecil
menangis, menyusul puluhan rumah lain runtuh. Jerit ketakutan, teriakan rasa
sakit baur di udara.
Belum juga kengerian itu berakhir, disusul suara
gemuruh yang membuat pekak telinga dari arah laut. Dinding air bermeter-meter
tingginya tiba-tiba saja menjelma,
meluluh lantakkan desa mereka. Tubuh Roy terhempas kuat, dengan sisa tenaga dia
berusaha menggapai-gapai benda apa saja yang bisa membuat dia tetap terapung.
Tubuhnya terseret puluhan meter sampai ke luar desa.
Saat menyadari
semuanya, dia bisa merekam dengan jelas semua kengerian yang baru saja terjadi.
Puing-puing bertumpuk, mayat-mayat terbalut lumpur bergelatakan di
sekelilingnya, sebagian bahkan tidak utuh. Roy diam, logikanya masih belum bisa
menerima bencana ini dengan begitu cepat.
Jerit tangis takut dan sakit kini berubah jadi
tangisan putus asa.
Begitu juga dengan Roy. Bencana yang sudah menggiris
kemanusiaan ini sekaligus juga menciderai jiwanya. Trauma yang berkepanjangan,
kehilangan semua anggota keluarga dan kerabat dalam satu ketukan palu takdir.
Rani mmegang bahu Roy, menyesal karena telah
membuatnya mengingat peristiwa yang justru selama ini berusaha Roy hindari.
“Sorry,”
bisik Rani pelan.
Roy hanya tersenyum kecil lalu mengangkat gelas kopi
yang tinggal setengah, pandangan matanya masih menerawang jauh ke seberang
lautan.
“Kakak..” suara isakan Galuh terdengar saat menghambur
ke arahnya.
“Kenapa, Galuh?” tanya Roy sambil tersenyum.
“Kak Bani Jahat. Kak Bani nggak mau minjemin
mainannya sama Galuh.”
“Mainan apa?”
“Itu.” Tunjuk Galuh ke arah Bani yang sedang asyik
menarik mobil-mobilan dari batang bambu yang Roy buatkan tadi pagi.
“Sini, “ kata Roy sambil mengangkat tubuh Galuh dan
mendudukanya di pangkuan.
“Kakak bikinin
Galuh kincir angin saja ya?”
“Kakak bisa?”
Roy tersenyun lalu mengeluarkan kertas dari dalam
tasnya, melipatnya sedemikian rupa.
“Sekarang Galuh tolong ambilkan ranting pohon itu.”
Dengan cekatan Galuh melompat dari pangkuan Roy lalu
berlari-lari kecil ke arah ranting yang dimaksud Roy.
Tidak sampai lima menit, jadilah kincir angin kertas.
Galuh riang sekali menerimanya, setiap dia gerakkan kincir itu berputar. Semakin
cepat dia gerakkan semakin kencang juga putarannya. Galuh berlari-lari
sepanjang tepi pantai sambil mengangkat kincir anginnya tinggi-tinngi.
Roy hanya tersenyum, jiwanya selalu merasa hangat jika
bisa bermanfaat untuk orang lain.
“Kasihan sekali mereka ya, Roy. Saat anak-anak lain
bisa bermain di Time Zone atau
menghabiskan waktu bermain game di handphone atau komputer mereka malah
harus berebut mainan seperti itu.” kata Rani.
Roy mengangguk.
“Karena itulah aku mau mengabdikan hidupku di sini. Setidaknya
aku bisa membuat orang lain bahagia, maka akupun akan merasa bahagia.”
“Nggak niat
balik ke Jakarta?”
Roy menggeleng. Di sisir lagi rambutnya yang panjang
dengan sela-sela jari.
“Aku seperti punya keluarga di sini. Aku bahagia.”
Rani hanya bisa mengangguk dan ikut melemparkan
pandangannya ke tengah lautan.
*****
“Kak Rani! Kak Rani!” Suara Galuh dan beberapa anak
lain berteriak dari kejauhan.
“Ada apa?”
“Kak Roy, Kak. Kak Roy…. Kecelakaan..!” Suara Bani
terdengar ngos-ngosan.
“Apa? Di mana sekarang?”
*****
Rani masih duduk di kursi selasar sambil mengenggam
surat setengah basah dari Roy yang dia terima waktu mereka mengobrol di tepi
pantai tempo hari.
“Jangan pernah dibuka kecuali aku mati!” kata Roy.
“Hah, kamu serius?” tanya Rani dengan nada jenaka.
Roy hanya diam.
Sekarang Rani paham maksudnya, mungkin Roy sudah punya
firasat tentang kematiannya sendiri. Dibuka lagi amplop putih itu dan
mengelurakn isinya.
“Kamu tahu apa
yang bisa membuat dunia menjadi sebegitu indah? Cinta dan kasih sayang. Ran,
seandainya saja aku masih bisa berbuat baik untuk orang lain, maka apa pun akan
kulakukan. Dari kecil aku sudah terbiasa hidup dalam kesendirian dan air mata. Tanpa
saudara tanpa kerabat.
Kamu tahu apa yang
paling aku inginkan di dunia ini? Memiliki keluarga, hal paling mustahil yang
aku inginkan. Kalau aku mati, apa pun dalam tubuhku aku persembahkan untuk
mereka yang masih hidup. Mereka yang sama tidak beruntungnya seperti aku. Biarlah
mataku, jantung, atau ginjal bisa menggenapi mereka yang kekurangan. Sumbangkanlah
untuk mereka. Semoga mereka bisa sedikit lebih lama menatap dunia, mendegupkan
jantungku dalam dada mereka atau sekedar penyambung nafas..
Itu saja..
Terima kasih
banyak.”
Sesak, hanya itu yang Rani rasakan setiap membaca
surat dari Roy. Masih ada manuisa yang sebegitu perhatian pada manusia lainnya.
Rela mengorbankan dirinya sendiri untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.
Setahun berlalu.
Mobil van putih menepi di sebuah pemakaman. Beberapa orang
turun, ada Rani di sana dan beberapa anak lainnya.
Denagn langkah pasti mereka menuju satu makam, makam
Roy.
“Kamu tahu Roy, orang yang kini hadir di makammu ini
adalah orang-orang yang berhasil hidup sedikit lebih lama karena kamu. Mata Agus
adalah matamu yang bisa memandang lebih jauh ke seberang lautan. Jantung wati
adalah degup semangat kasih dan kemanusiaan yang selalu kamu
dengung-dengungkan. Masih banyak anak-anak lain yang hari ini tidak bisa hadir
di sini, mereka titip salam untukmu. Mereka juga menitipkan surat untukmu. Ini.”
Rani menaruh sebundel surat dengan warna amplop
berwarna-warni.
“Doa kami, semoga kamu bisa tenang dan bahagia di alam
sana. Terima kasih. Terima kasih banyak.”
Komentar