philgcg11phd.wordpress.com |
Tiba-tiba saja dunia seolah terhenti. Semua manusia diam
sambil tertunduk. Para wanita menangis sesegukan. Mereka yang bekerja di kantor-kantor
lekas pulang, nelayan buru-buru angkat sauh dan merapat di dermaga. Kuli-kuli
dan petani membersihkan alat kerja mereka lalu bergegas pulang.
Semua wajah manusia menjadi pias membayangkan yang
akan terjadi di waktu yang akan datang untuk diri mereka dan keluarganya. Semua
harapan yang selama ini dibangun tiba-tiba saja harus diputus ditengah jalan.
Para ulama dan pengkhotbah sibuk tafakur dalam
keheningan, sia-sia rasanya usaha mereka selama ini. Para politikus yang biasa
berdebat sampai mulutnya berbusa-busa tiba-tiba menjadi diam. Yang mereka
sanjung puja sudah mati sekarang. Tak ada lagi harapan. Seluruh negeri
berkabung untuk satu alasan: kematiannya.
Semua tempat ibadah mendadak penuh. Masyrakat yang
masih belum percaya ingin mendengar secara langsung dari mulut para imam,
mufti, ustadz, biksu dan pendeta mereka. Harap-harap cemas, semoga berita
kematiannya hanya olok-olok, lelucon murahan.
“Dia sudah mati.” Hanya kata-kata itu yang bisa
diucapkan presiden dengan wajah pucat dan bibir gemetar di depan sidang kabinet
darurat yang disiarkan secara langsung oleh televisi swasta dan nasional. Hal itu
berlaku di seluruh dunia.
Rakyat yang mendengar pernyataan tersebut langsung
histeris, menjerit-jerit, berguling-guling di jalanan seperti anak kecil.
Sekolah diliburkan, kantor-kantor tutup, pasar
lengang. Kepergiannya melahirkan duka di mana-mana. Tak ada lagi harapan yang
tersisa di dunia.
“Jam tiga sore nanti acara pemakamannya,” kata seorang
tukang lontong sayur saat lewat di depan terminal kepada seorang kondektur bus.
Berita pemakamannya menyebar cepat.
Jam tiga kurang dua puluh menit alun-alun penuh dengan
manusia, berjejal-jejal. Sebagian lagi hanya duduk-duduk di pelataran mengenang
hari-hari yang sudah lewat. Kini kematiannya hanya menyisakan kesedihan.
“Kenapa dulu dia kita sia-siakan? Kenapa?” seorang
gelandangan berteriak-teriak.
“Bagaimana nanti nasib anakku ini?” dengan wajah
berurai air mata seorang ibu histeris sambil memeluk anaknya.
Tentara mulai mensterilkan lokasi. Dalam radius
sepuluh meter tidak boleh ada masyrakat yang boleh mendekati jasadnya. Reporter
televisi berteriak-teriak berusaha mengalahkan gemuruh suara tangisan dan rintihan
di sekitar alun-alun.
Deru helikopter memekakkan telinga, menerbangkan debu
ke segala arah tapi masyarakat tak bergeming. Ingin menyaksikan upacara
pemakamannya. Seiring bertambahnya waktu, semakin banyak pula orang berkumpul
di alun-alun. Jumlahnya tak terhitung, jutaan.
Para alim ulama, pendeta, kyai, biksu terus merapal
doa-doa.
Dan di sanalah dia terkepar. Dengan tubuh kurus penuh
luka. Beberapa bagian kulitnya melepuh. Ususnya burai.
Seorang anak kecil menyelinap dalam kerumunan lalu
berlari mendekati jasadnya. Dengan sigap seorang tentara bersenjata lengkap
berlari hendak menahanya.
“Siapa dia, Paman tentara?” tanyanya anak itu dengan polos.
“Ketahuilah, Nak. Yang terbaring mati di sana itu
adalah MORAL.”
Komentar