Tangan
kiri kami berjabat erat, terlalu erat. Kepalan tangan kananku teracung ke
udara.
Bruuukkk….!
Pukulanku
sukses menghantam pipi kirinya. Tubuh Willy limbung, dengan sekuat tenaga kutarik
tubuh gempal itu sambil kuremas telapak tangannya.
Willy
meringis, segera bangkit dan memasang kuda-kuda. Aku menggertakan gigi
bersiap-siap menerima tinju dari sahabatku ini. Tangan kiriku sekali-lagi
meremas tangannya sekuat tenaga. Tangan willy teracung.
Bruuukkk…!
Ada
rasa perih seketika menjalar di sekitar rahang. Kepalaku pusing tapi tetap
menjaga kuda-kuda agar tidak goyang. Tangan Willy meremas telapak tanganku
tanpa ampun.
Kami
berdua tegak kembali.
“Sekali
lagi?” tanyaku dengan nada setengah menyindir.
Willy
tersenyum senang. Adegan tadipun terulang kembali.
Inilah
kami, dua berandalan. Yang satu bertubuh kerempeng dengan rambut sebahu dan
satu lagi bertubuh gempal dengan rambut cepak ala ABRI. Sudah sepuluh tahun
kami tidak bertemu. Kami tersesat di belantara ibu kota dengan jalan hidup kami
masing-masing.
Aku
melacurkan diri pada inteletualitas. Melanjutkan sekolah melalui kejar Paket C,
mengambil gelar sarjana dan ikut seminar sana-sini. Sementara Willy tetap jadi
biang kerok. Menjambret, membegal, membunuh, tapi dia tidak pernah memperkosa. Aku
tahu benar betapa tingginya pengharagaan seorang Willy terhadap wanita. Terakhir
kudengar dia sudah jadi pemimpin salah satu geng di Komplek Ambon, jadi
residivis, target operasi polisi, dan takdir meyeret kita untuk bertemu lagi
malam ini. Di bawah bayang-bayang pohon kresek yang daunnya meranggas kami
tuntaskan rasa rindu kami lewat cara kami, cara lelaki yang kata orang
bajingan.
Aku
duduk di salah satu akar pohon kresek yang menonjol ke luar. Willy menyorongkan
bungkus rokoknya, aku comot satu batang. Beberapa detik kemudian tempat kami
duduk dikepung asap. Suasana jadi dramatis, bayang-bayang ranting pohon kresek
yang terkena sinar dari lampu jalanan berwarna kuning ditingkahi kepulan asap
yang bergumpal-gumpa. Siluet kami terbentuk samar.
“Pilkada
nanti kamu pilih siapa, Boy?” tanyanya tiba-tiba.
“Peduli
apa aku sama pilkada.” rutukku pelan.
“Heh,
biarpun kita cuma jadi sampah di kota ini, janganlah kita jadi sampah juga buat
republik ini!” katanya dengan nada diplomatis.
Aku
tak mau kalah, kami memang terlahir dengan tabiat bar-bar.
“Siapapun
yang menang, tetap saja yang diuntungkan cuma ‘tukang dagang’. Mereka penguasa
sebenarnya. Yang duduk di kursi-kursi eselon itu cuma kacung!” nada suaraku nanar.
Willy
yang sadar betul akan tabiatku berusaha menenangkan kegelisahanku. Kami memang
spesies yang sama, yang terbiasa hidup dengan peradaban silam yang kasar.
“Begini,”
dia membenarkan posisi duduknya sambil menghisap rokok dalam-dalam. “Bapak Kau
dan Bapakku sama-sama lahir dan besar di republik ini, begitu juga kakek-kakek
kita. Mereka lahir, besar, cari makan, kawin dan beranak juga di republik ini.”
Dia
tidak meneruskan kata-katanya, berharap aku mencerna aapa yang dia ucapkan
barusan.
“Maksudku,
sebangsat apapun kita, janganlah kita menjadi anonim buat negeri ini. Kalau kau memang tidak
peduli, setidaknya kau wakililah kakek dan bapak Kau buat menentukan mau ke
mana arah republik ini.”
Aku
menghisap rokokku dalam-dalam, membantingnya ke tanah lalu kuinjak-injak.
“Kalau
kamu pilih siapa?” tanyaku.
“Aku
tak bisa katakan sama kau lah. Kan rahasia.” Willy menjawab dengan cengiran
khasnya.
“Pokoknya,
siapa saja boleh kau pilih, asal jangan sampai golput. Sayang kau sudah dapat
hak tapi tidak kau gunakan. Kau ingat kan dulu, sepuluh tahun lalu. Sampai
mampus kita berjuang supaya kita dapat hak untuk diakui sama orang-orang
sekitar kita. Masak sekarang hak itu sudah kau dapat malah tidak kau gunakan.”
“Ya,
aku paham. Aku juga punya pilihanku sendiri.”
“Siapa?”
tanyanya penuh rasa penasaran.
“Aku
tak bisa katakan sama kau lah. Kan rahasia.” Kataku menirukan gaya bicaranya.
Dia
tertawa. Akupun ikut tertawa. Aku tak pernah tertawa selepas ini sejak setahun
lalu. Sial, batinku. Setengah mati aku kejar-kejar intelektualitas supaya aku
bisa berpikir logis. Malah sekarang aku dinasihati oleh seorang residivis. Titel
pendidikan bisa aku beli, tapi pemikiran waras hanya bisa aku temukan dari
orang-orang terbaik yang dipertemukan takdir kepadaku.
Komentar