Langsung ke konten utama

BLUES MALARIA

Sitir Blues Untuk Bonnie....

Pandangan matamu masih nanar menjilati pojok demi pojok. Berharap ada berahi malam ini supaya perutmu  yang kosong bisa terisi. Sejauh mata memandang, hanya asap-asap kejenuhan yang terus dihembuskan dari mulut-mulut berbau whiskey.

Langkah kakimu gontai, dari balik perut yang rata, lambungmu perih menjerit-jerit karena belum terkena nasi sejak pagi.

Di tengah ruangan, penyanyi negro dengan gitar akustik bututnya masih terus bernyanyi-nyanyi. Dia tidak bernyanyi dengan suara, tapi dengan darah dan air mata. Kenang mengenang. Lagu perih tembang kampung halaman.

New Orleans… New  Orleans… Oh New Orleans yang jauh disebutnya berulang-ulang. Terkenang anak istrinya yang terbuang, mimpi-mimpi yang sudah tergadai sampai tandas dan borok di selangkangan yang tak kunjung sembuh.

Sumpah serapah membuncah dari mulut-mulut mabuk di pinggir panggung. Bising, hingar bingar, kumuh, jorok, tak beradab, bar-bar. Kamu terjebak dalam neraka yang tak berkesudahan.

Pandangan matamu mulai buram…

Duduklah sini dekat pedianganku. Angin santer yang meniupkan malaria terlalu liar untukmu duduk-duduk di luar. Anyaman rambutmu kusut masai tapi keningmu terang benderang. Duduklah sini sayang.

Hari sudah kasip begini… siapa lagi yang akan datang?

Duduk sini dan genggamlah cangkir kenangan yang akan aku sodorkan. Di dalamnya meliuk-liuk nafas sejarah yang panjang, jangan kamu lupakan. Genggam erat-erat biar tubuhmu hangat.

Akan aku ceritakan sebuah kisah.

Seribu dua ratus empat puluh enam tahun yang lalu, ada seorang lelaki yang termakan sumpah. Janji untuk kembali setelah bertualang lelah. Seorang perawan yang terlalu setia, selalu menunggu kapal terakhir merapat di dermaga. Sambil duduk di ayunan memainkan boneka. Apa mau dikata, kelasi-kelasi mabuk yang datang tak pernah membawa kabar berita. Perawan tetap setia, walau merana.

Duduklah sini sayang, puaskan laparmu, makan dari pingganku. Teguklah anggur-anggur kenangan yang kusajikan. Supaya lupamu hilang, supaya deritamu sirna.

Nanti, pada kokok ayam pertama kita pergi. Tinggalkan negeri tak berperadaban ini. Saat matahari nanar membakar ladang-ladang gandum, kita sudah akan sampai di negeri entah berantah yang hanya kita berdua tahu.

Pada saatnya nanti pasti akan kukatakan:

“Tatap mataku dalam-dalam. Kenanglah, aku lelaki yang seribu dua ratus empat puluh tahun lalu pernah ucap janji…
….padamu.”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yan...

THE ANAK UDIK'S CONFESSION

Kadang ada beberapa titik dalam hidup saya ketika saya benar-benar lumpuh, tak bisa menulis lagi. Inspirasi saya mentok, saya kehabisan kata-kata. Kadang saya sebegitu herannya setiap ‘main’ ke toko buku dan menemukan puluhan buku baru dipajang di rak. Kok bisa ya penulis-penulis itu menghasilkan buku hampir tiap bulan, tangan mereka lincah seperti mesin pabrik berproduksi setiap harinya menghasilkan karya? Apa yang salah dengan saya? Jujur saja saya kurang gaul, saya cuma orang udik yang tersasar di megahnya semesta sastra, bergaya-gaya seperti penulis jempolan, padahal setiap saya membaca salah satu karya yang dipajang di rak toko buku tersebut hati saya seketika ‘mengkeret’ menahan malu sekaligus takjub dengan karya yang barusan saya baca. Lalu timbullah rasa tidak percaya diri yang berlebihan kadarnya, saya mundur perlahan, masuk ke tempat gelap dan mengungsi dari dunia sastra karena takut dengan bayangan saya sendiri. Ironis. Keadaan seperti itu bisa melum...