Langsung ke konten utama

JENDELA

sumber: artebia.com


“Sudah kubilang jangan sekali-kali berani membuka jendela itu!”

“Kenapa?”

“Karena saat kamu melihat dunia di balik jendela kamu akan menginginkannya.”

“Itu apa?”

“Itu adalah tangisan.”

“Kenapa manusia menangis?”

“Karena hatinya sedang dihinggapi kesedihan?”

“Apa itu kesedihan?”

“Kenyataan yang terjadi di luar harapan.”

“Apa pula itu harapan?”

“Sesuatu yang kamu inginkan agar terjadi dalam hidupmu.”

“Aku paham sekarang. Berarti manusia akan menagis jika harapannya tidak terpenuhi.”

“Benar. Cepat tutup jendela itu!”

“Sebentar, apa itu yang di sebelah sana?”

“Itu tawa.”

“Kenapa manusia suka sekali dengan tawa?”

“Karena tawa adalah wujud bahagia.”

“Bahagia?”

“Iya, bahagia.”

“Apa itu bahagia?”

“Bahagia adalah saat harapanmu terpenuhi.”

“Berarti tawa adalah kebalikan dari tangis?”

“Tepat.”

“Kenapa tangis diciptakan? Bukankah akan lebih menyenangkan kalau hanya ada tawa di dunia?”

“Untuk menggenapi takdir.”

“Aku jadi bingung. Apa itu takdir?”

“Takdir adalah yang terjadi pada manusia saat mereka sibuk merencanakannya.” *)

“Bahasamu terlalu tinggi. Jelaskan padaku dengan bahasa uang mudah aku pahami.”

“Tidak ada penjelasan lain, sekarang lekas tutup jendelanya.”

“Sebentar, tolong jelaskan yang berpendar dari dada manusia itu apa?”

“Itu cinta.”

“Cinta?”

“Iya.”

“Akan aku tutup jendelanya setelah kamu jelaskan cinta padaku.”

“Tak pernah ada penjelasan tentang cinta.”

“Kenapa begitu?”

“Karena cinta bersifat personal. Tak pernah bisa didefiniskan.”

“Lalu kenapa cinta diciptakan.”

“Untuk menggenapkan.”

“Menggenapkan siapa?”

“Manusia.”

“Bukankah manusia sudah genap dan lengkap.”

“Belum. Lihatlah mereka. Mereka berbeda dengan kita. Mereka hanya memiliki sebelah sayap.”

“Karena itukah mereka tidak pernah bisa terbang ke sini?”

“Tepat.”

“Lalu…?”

“Lalu apa?”

“Bagaimana cinta bisa sebegitu menggenapkan?”

“Saat manusia dalam cinta mereka akan saling berepelukan, erat, sampai tubuh mereka lumat, jadi satu. Jadilah sayap mereka lengkap. Lalu mereka dapat terbang.”

“Kalau mereka dapat terbang, kenapa mereka tidak pernah sampai bisa ke sini?”

“Karena mereka betah tinggal di dunia dibalik jendela.”

“Apa menariknya dunia di sana?”

“Tidak ada.”

“kamu pasti berdusta.”

“Tidak.”

“Kalau dunia di sana tidak menyenangkan, kenapa manusia betah sekali tinggal di sana?"

“…………”

“Baiklah, kalau kamu tidak mau menceritakannya. Akan aku tutup jendelanya sekarang.”


Mungkin karena aku sudah tua dan alpa, rupa-rupanya cinta sempat singgah melalui jendela. Jadilah kami merana. Tertawa, 

menangis, tersenyum dan berkerut-kerut kening karena berusaha memahami hakikat cinta itu sendiri.



*) John Lennon, Beautiful Boy



Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s